Bab 2 - Fiandra

18.8K 1.7K 70
                                    

Erfan langsung gerak cepat. Dia menghubungi orang tuanya dan mereka terbang ke Indonesia keesokan harinya. Demi memuluskan rencananya, Erfan mempertemukan kedua keluarga untuk makan malam bersama.

"Cantik," komentar Shinta, Mama Erfan saat melihat Fiandra. Matanya berbinar senang. Dia terlihat puas dengan pilihan Erfan. Apalagi saat tahu kalau Fiandra adalah seorang Dokter. Mama Erfan langsung setuju kalau sebulan lagi mereka boleh menikah.

Dari pihak Fiandra juga senang-senang saja saat melihat Erfan. Selain mapan dan tampan, pembawaan Erfan yang dewasa membuat kedua orang tua Fiandra tenang.

Walau bagaimanapun Fiandra adalah anak bungsu mereka. Vanno, kakak laki-lakinya tidak bisa ikut datang karena sedang ada urusan bisnis beberapa bulan di Amsterdam. Hanya ada Ferry dan Nuri, orang tua Fiandra di sana. Ferry sendiri sebenarnya mempunyai perusahaan periklanan yang cukup berpengaruh. Yang pada akhirnya, tanggung jawab itu jatuh pada Vanno, kakak Fiandra. Sedangkan Fiandra, tak berminat sama sekali untuk ikut terjun ke bisnis Ayahnya. Dia memilih untuk mewujudkan cita-citanya sebagai seorang dokter.

Malam ini, setelah makan malam keluarga, semua orang membicarakan pernikahan Erfan dan Fiandra. Tapi keduanya justru memilih untuk memisahkan diri. Mereka duduk di tepi kolam renang di rumah Fiandra sambil menyesap minuman mereka. Tak banyak mengobrol. Lebih banyak melamun. Namun keduanya tampak tak sadar. Karena mereka memang masih ragu untuk memulai pembicaraan.

Erfan menengadah menatap bulan cembung di atasnya. Pikirannya kini beralih ke bisnisnya lagi. Dia justru teringat bahwa seharusnya dia menelpon Pak Raharjo, bagian pemasaran untuk menyerahkan laporan penjualan terbaru mereka. Namun saat dia hampir menyentuh ponsel, tatapan matanya beralih pada Fiandra yang sikapnya sama seperti pertama kali mereka bertemu. Tatapan wanita itu datar.

"Apa yang sedang kau pikirkan?" tanya Erfan memecah kesunyian.

Fiandra menggeleng. "Tidak ada. Aku bahkan tidak tahu apa yang seharusnya aku pikirkan sekarang." Jawaban itu membuat Erfan tertegun. Dan seketika telpon pada Pak Raharjo terlupakan.

"Kau ragu?"

Fiandra tersenyum lalu menoleh pada Erfan. "Apa kau yakin?"

Erfan menatap mata yang penasaran itu dan mempertimbangkan jawabannya. Dia sendiri tak tahu apa dia seyakin itu. Hanya saja, dia tak begitu ingin memikirkannya. Biar saja nanti berjalan apa adanya.

"Lalu, kenapa kau menerima lamaranku kemarin?"

"Kau ingin aku jujur?" tanya Fiandra. Erfan mengangguk. "Aku baru patah hati. Dan sepertinya menikah adalah pelarian yang aman." Erfan kembali tertegun mendengar jawaban yang di luar dugaannya, lalu tersenyum. Tak menyangka kalau Fiandra adalah wanita yang sangat blak-blakan. "Kau sendiri, kenapa melamarku terburu-buru?"

"Orang tuaku terus mendesak. Dan aku pikir, dengan mengikuti permintaan mereka, hidupku bisa tenang."

Tubuh Fiandra membeku. Pelan-pelan, dia menoleh pada Erfan dan menatap nanar wajah laki-laki itu, yang sedang tersenyum pada bulan. Ada perasaan tak enak yang merasukinya.

Dia pikir, Erfan melamarnya terburu-buru karena benar-benar menyukainya. Dia pikir lamaran Erfan itu karena Erfan sudah jatuh cinta padanya. Dia pikir, pernikahan ini akan menarik karena walaupun dia tidak mencintai Erfan tapi paling tidak laki-laki itu mencintainya. Paling tidak salah satu dari mereka mencintai pasangannya. Paling tidak, pada akhirnya pasti ada harapan untuk bahagia.

Fiandra membuka mulutnya dengan air mata yang menggenang. Jadi ... pernikahan ini tidak ada cinta? Tidak ada satu pihak pun yang mencintai? Hanya karena keadaan mereka menikah. Air mata Fiandra menetes dan dia langsung menghapusnya cepat.

You (Repost)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang