Audrey mengerucutkan bibirnya dengan kesal. "Abisnya gue nggak tau mau kemana lagi. Cuma di sini doang gue bisa tenang. Kalau enggak mah gue diuber-uber sama Lucy sama Claire mulu. Bikin otak mau pecah."
Riel mengangkat sebelah alisnya dengan bingung. "Kenapa nggak kasih tau mereka aja yang sebenarnya? Biar mereka bisa stop gangguin lo?"
"Nggak mau. Gue nggak mau kasih tau mereka. Gue nggak mau jadi bahan tawaan mereka." Audrey menggeleng cepat sambil membayangkan mereka semua menertawakannya karena ia terlalu bodoh.
"Gue heran. Ngapain mereka ngetawain lo? Yang ada mereka bakal ngerasa bersalah kali karena udah nusuk lo dari belakang?" Riel menatap Audrey dengan bingung. Tidak mengerti dengan jalan pikiran Audrey.
Audrey mengangkat kedua bahunya. "Mereka pasti bakal bilang kalau gue terlalu gampang buat diboongin."
"Negatif banget sih mikirnya," komentar Riel dengan cepat. "Mana mungkin mereka ngomong gitu ke lo? Paling mereka juga cuma cengo, bingung, panik, pasang tampang bloon."
Audrey mendengus sebal. "Pokoknya gue nggak mau kasih tau mereka."
"Yaudah. Suka-suka lo aja. Gue duluan," ucap Riel sambil berbalik badan dan berjalan meninggalkan Audrey sendiri.
"Ish, dia beneran tega ninggalin gue sendiri di sini? Cowok apa bukan sih?" tanya Audrey pada dirinya sendiri. Detik berikutnya, ia baru sadar. Untuk apa ia kesal dengan Riel hanya karena Riel meninggalkannya? Riel kan bukan temannya ataupun siapapun yang harus selalu menemaninya. Kenapa dia malah berharap bahwa Riel akan menemaninya di sini? Kenapa dia malah berharap Riel akan merasa tidak tega meninggalkannya? Ia rasa ada yang tidak beres dengan dirinya.
Saat Audrey sedang memijat-mijat pelipisnya, sepasang sepatu terlihat dalam pandangannya. Audrey mengangkat kepalanya untuk melihat siapa pemilik sepatu itu. "Riel?"
Riel mengangguk dan mengambil tempat di samping Audrey.
"Lo ngapain di sini?" tanya Audrey dengan heran. Bukankah tadi Riel meninggalkannya sendiri?
"Mau makan lah. Tuh, makan juga bekal lo," ucap Riel sambil membuka kotak streoform berisi bakmi yang ia beli dari kantin.
Audrey mengerutkan keningnya. "Bukannya tadi lo ninggalin gue ya? Kok tiba-tiba balik lagi? Nggak ada tempat duduk?"
"Lo bawel amat sih," komentar Riel sebelum melahap bakminya. Perutnya sudah meronta-ronta minta diisi sejak tadi.
Audrey menatap Riel dengan sebal tetapi tidak mengucapkan apapun lagi. Ia pun membuka kotak makannya dan mulai melahap roti sandwich yang ia bawa dari rumah. Mereka berdua makan dalam diam. Tidak ada yang berbicara. Masing-masing sibuk dengan makanannya sendiri.
"Gue boleh nanya nggak?" Audrey tiba-tiba membuka mulut.
Riel mengangkat sebelah alisnya. "Ada apaan?"
"Kok lo suka banget di perpustakaan? Kenapa nggak ngumpul sama temen-temen lo yang lain?" tanya Audrey dengan heran. Jika dilihat-lihat, tidak mungkin kalau Riel tidak punya teman. Dari tampangnya saja, Audrey tahu Riel punya banyak teman. Siapa yang tidak mau menjadi temannya? Riel ganteng begitu.
Riel mengangkat kedua bahunya dengan cuek. "Nggak suka rame aja. Berisik. Bikin sakit kepala."
"Ah, serius? Terus temen-temen lo mana? Kok nggak samperin lo gitu?" tanya Audrey lagi.
Riel menghembuskan napasnya dengan berat dan kembali menutup kotak streoform yang sudah kosong. "Lo bawel. Banyak nanya. Bikin sakit kepala," ucapnya sebelum bangkit berdiri dan berjalan meninggalkan Audrey.
Audrey yang penasaran dengan alasan Riel pun ikut berdiri dan berjalan mengikuti Riel. "Ih, jawab kek pertanyaan gue. Kan gue penasaran."
Tapi, Riel sama sekali tidak berniat menjawab pertanyaan Audrey. Ia malah mengambil satu buku dari rak buku dan duduk di tempat yang kosong tanpa menghiraukan Audrey yang masih membuntutinya sedaritadi.
"Nyebelin lo," dumel Audrey sambil mendengus sebal karena sedaritadi didiamkan oleh Riel.
Riel pun menutup buku yang sedang ia baca dan berbalik badan untuk menatap Audrey. "Lo nanya apa sih tadi?"
"Kok lo selalu sendirian?" tanya Audrey lagi.
"Iya. Soa-"
"Lucas!" Teriakan perempuan membuat mereka berdua menoleh ke arah pintu masuk perpustakaan. Seorang perempuan berseragam sekolah mereka dengan rambut diikat satu sedang berlari menghampiri mereka.
"Apa, Ra?" tanya Riel dengan bingung.
Rachel berhenti di hadapan kami dengan nafas tidak beraturan. "Nggak, lo dipanggil Beverly. Katanya, tega-teganya lo nggak nyemangatin dia latihan sebelum tanding."
Bagaikan disambar petir, Riel baru teringat akan sesuatu. Saudara perempuannya sebentar lagi akan pergi bertanding cheerleader di sekolah lain dan dia sekarang malah berada di perpustakaan. Bukannya menyemangati saudara perempuannya di lapangan.
"Astaga! Bisa dibunuh Bev gue," ucap Riel dengan panik. Lalu, ia menoleh ke arah Audrey. "Gue pergi dulu ya."
Audrey yang tidak mengerti apa yang terjadi hanya bisa menganggukkan kepala sambil menatapi kepergian Riel dengan perempuan itu. "Nggak jelas," gumamnya pada dirinya sendiri.
Saat ia berniat kembali ke kelasnya, pandangannya tertuju pada buku yang tadi sedang dibaca oleh Riel. Sebuah senyuman seketika menghiasi wajahnya yang cantik. "You've got to be kidding me, Riel. Cooking book?" tanyanya pada dirinya sendiri.
Ia pun mengembalikan buku tersebut ke rak buku dan berjalan meninggalkan perpustakaan. Mungkin besok ia bisa menjahili Riel mengenai buku resep tersebut. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa laki-laki seperti Riel akan tertarik pada masak memasak. Dari tampangnya, Riel lebih terlihat seperti laki-laki yang enggan bereksperimen di dapur. Tapi, Riel rupanya punya cara tersendiri untuk membuat Audrey kagum.
"Drey," panggil Lucy untuk kesekian kalinya begitu Audrey baru duduk di tempat duduknya.
Audrey menghembuskan napasnya dengan berat. "Kenapa, Luc? Lo apa nggak capek manggilin gue tiap hari?"
Kedua mata Lucy melebar. "Nggaklah! Kita kan sahabat. Emang tiap hari kan gue manggil lo," balasnya dengan cepat.
Aku tersenyum miring mendengar kata 'sahabat' keluar dari mulut 'sahabatku'. "Oh iya, lupa kalau kita sahabatan."
"Lo itu kenapa berubah sih, Drey? Kita berdua salah apa sama lo sampe lo ngejauhin gue berdua?" tanya Lucy dengan nada memohon. Ia benar-benar takut jika Audrey tahu apa yang telah ia sembunyikan selama ini. Ia takut bahwa Audrey tahu rahasianya.
Audrey mengangkat kedua bahunya. "Enggak sih. Kalian nggak ada salah. Emang kalian ngapain sampe mikir gue jauhin lo karena kalian ada salah sama gue?" tanya Audrey dengan enteng.
Pertanyaan Audrey benar-benar membuat Lucy terdiam. Hal ini malah membuat Lucy tidak berani menjawab apapun karena takut salah bicara dan malah membuat Audrey mencurigainya. Mungkin memang Audrey tidak tahu apa-apa mengenai rahasianya. Mungkin Audrey memiliki alasan lain mengapa belakangan ini Audrey menjauhi ia dan Claire.
Di sisi lain, Audrey sedang berusaha sekuat tenaga untuk tetap memasang ekspresi tenang. Ia yakin jika ia tidak memiliki kontrol diri yang tinggi, ia sudah pasti akan menampar Lucy sedaritadi dan mencecarnya dengan berbagai pertanyaan yang belakangan ini terus membayanginya. Ia ingin sekali bertanya apa yang telah ia lakukan sampai ia harus menerima pengkhianatan kedua sahabatnya itu.
Tapi, Audrey bisa menguasai dirinya dan malah memberikan senyuman untuk Lucy sebelum berkata, "gue cuma ngerasa kita nggak cocok aja."
Belum sempat Lucy membuka mulutnya, guru pelajaran selanjutnya sudah memasuki kelas dengan kertas ulangan ditangannya. Mau tidak mau, pembicaraan mereka berhenti di sana.
YOU ARE READING
Lesson To Learn
Teen Fiction"When you think everything's going so well but then all of a sudden everything starts to fall apart." ••• Audrey selalu berpikir bahwa hidupnya sudah sempurna. Pacar yang tampan, dua sahabat yang selalu ada bersamanya, dan juga keluarga yang bahagia...
5. Why?
Start from the beginning
