First Curse - A Prologue to All of This Mess

416 51 23
                                    

AYAHKU bilang, malam ini akan sangat indah. Ratusan bintang akan menghias langit malam yang gelap seperti taburan sprinkles warna-warni pada kue blackforest. Tidak persis seperti itu, tapi, yah, setidaknya hal menyenangkan itulah yang bisa kusandingkan dengan apa yang Ayah katakan. Bahkan dia bilang aku bisa melihat banyak rasi bintang tanpa bantuan teropong.

Semua anak berusia lima tahun pasti suka sesuatu yang terdengar ajaib dan menyenangkan seperti itu. Jadi sebagai anak lima tahun normal lainnya--ehem, mengesampingkan kemampuan anehku--yang kulakukan setelah Ibu mengantarku ke tempat tidur dan mengecupku selamat malam adalah setengah mati mengusahakan mataku tetap terbuka.

Hal yang paling tidak kuinginkan malam ini adalah tertidur pulas lalu membuat Ayah tidak tega membangunkanku, dan keesokan harinya aku hanya bisa menyesal karena melewati hal keren yang ia ceritakan.

Jadi aku tetap diam di balik selimut merah mudaku, menghitung dalam hati meski beberapa kali meloncati angka hitungan karena rasa kantuk memengaruhi fokusku. Tapi setidaknya hal itu membuatku lebih nyaman menunggu.

Hitunganku--yang entah benar entah tidak--sudah mencapai dua ratus saat bulan di balik jendela kamarku sudah semakin meninggi. Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama aku terjaga, dan hampir saja menyerah pada rasa kantuk saat mendengar suara dentang dari ruang keluarga. Sontak aku terduduk.

Kemudian kusadari bahwa itu adalah jam yang berdentang, menandakan bahwa malam sudah hampir terlewati setengahnya. Namun Ayah belum datang ke kamarku. Aku mulai merasa cemas; bagimana kalau Ayah lupa? Maka sia-sia saja begadang yang kulakukan ini. Aku ingin menghampirinya langsung, tapi takut yang kutemui malah Ibu.

Namun lalu aku berpikir--memangnya apa yang akan Ibu lakukan di tengah malam begini? Ibuku paling anti dengan tidur malam. Tapi, kalau dia melihatku, aku pasti ditanyai macam-macam; memangnya ada kepentingan apa juga anak kecil sepertiku terjaga sampai tengah malam?

Karena berpikir terus membuatku pusing, aku memutuskan segera turun dari tempat tidurku dan berdoa sebisanya sebelum memutar kenop pintu.

Hanya kegelapan dan derit pintu yang menyambut saat aku menapakkan satu langkah ke luar kamar. Setelah jam berhenti berdentang, keadaan benar-benar hening.

Aku berjalan dengan jinjit, bahkan menahan napas agar tidak menimbulkan suara apapun. Lalu suara derit pintu terdengar.

Kau salah kalau mengira itu aku. Pertama, pintu-pintu terletak cukup jauh dari tempatku berdiri. Kedua, suara derit itu berasal dari lantai bawah.

Aku memutar badanku, menjauhi kamar orangtuaku dan menuju ke arah tangga. Berpegangan pada kayu penyangga, aku melongok ke bawah. Ruangan bawah terlihat lebih gelap karena semua lampu telah dimatikan, hingga aku sama sekali sulit melihat benda-benda di sana.

Aku merasa bimbang sebelum memutuskan untuk menuruni tangga. Sambil berharap Ayah ada di sana. Tapi untuk berjaga-jaga, aku mulai memikirkan alasan bagus untuk Ibu kalau-kalau yang kutemui adalah dia.

Kakiku yang menapak pada lantai dingin, mengirimkan sensasi mulas di perutku, seolah melarangku untuk melanjutkan.

Tapi aku tetap melangkah, membuka pintu belakang rumah yang anehnya tidak terkunci. Perasaan takut dan berbagai pertanyaan paranoid mulai merangsek ke dalam kepalaku. Bagaimana kalau di luar sana ada penjahat, bukannya kedua orangtuaku?

Sebagian dari diriku menjerit minta kembali, namun sebagian diriku yang lainlah yang menang--rasa penasaranku memang sulit terbendung, aku tahu. Perlahan, aku terus melangkah keluar, membiarkan angin malam yang dingin menerbangkan helaian rambut hitamku.

Ada suara berkeresak di semak dari balik pagar besi. Aku mendekat dan mengintip dari celahnya dengan sebelah mata.

Sulit untuk melihat apapun ke balik pagar karena mataku belum sesusai dengan cahaya yang minim. Namun lama-kelamaan mataku yang mulai terbiasa dalam gelap menangkap satu objek bergerak di sana.

Itu Ayahku.

Atau setidaknya aku yakin aku tengah mengintip punggungnya yang makin menjauh, tertelan rimbunnya pepohonan di sana.

Aku merasakan jantungku berhenti berdetak saat kusadari ada berbagai makhluk aneh yang sering kulihat di mimpi-mimpi burukku. Mereka berada dekat dengan Ayahku, mengelilinginya dengan mata yang merah menyala. Aku ingin menjerit, tapi ketakutan mencekikku sehingga suaraku tidak keluar.

Maka, aku berbalik. Berlari memasuki rumah secepat yang aku bisa dengan air mata yang mengalir deras.

Ibu menyambutku di dalam. Aku tidak tahu dia datang dari mana, dan aku juga tidak peduli. Saat itu aku hanya butuh seseorang untuk meredam emosiku yang bercampur.

Sempat kulihat raut wajah sedih Ibuku, sebelum aku memeluknya erat dan menenggelamkan wajahku di perutnya. Aku menangis sekencang yang kubisa. Tubuhku bahkan tetap gemetar walaupun Ibu mendekapku kuat.

Kurasa aku menangis sampai tertidur. Karena ketika pagi harinya aku terbangun, aku merasa kedua mataku membengkak. Dan itu menjadi semakin bengkak karena aku menangis lagi begitu mengingat kejadian tadi malam.

Tidak peduli alasan apapun yang Ibuku berikan untuk mengalihkan perhatianku, kejadian itu tetap berputar di kepalaku.

Dan lagi, ada satu hal yang kusadari setelah malam itu: Ayahku tidak kembali.[]

···Bersambung···

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 16, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZemblanityTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang