Bagian 8

3.9K 455 30
                                    

Are you searching for long lost landscapes
Lit by flower and crystal cascades?
Where the lamb lie down with the lion
Where the wolf is one with the wild

~Run, Wolf Warrior, Run by Joyce

Malam pekat berselimut kabut. Aroma basah rerumputan memenuhi udara. Pohon-pohon mulai membentuk sosok penjaga malam; berdiri angkuh sembari membentangkan cabang, siap menyembunyikan mahluk apa pun yang ada di dalam tubuhnya dan menutup tanah dengan akar meranggas. Tampak pula beberapa burung hantu yang mulai mencari binatang pengerat. Salah satu dari burung tersebut bertengger di salah satu batang pohon. Mahluk itu ada di sana, diam dan mengamati. Lalu, ketika matanya menangkap pergerakan seekor tikus. Burung itu pun langsung terbang menukik dan mencengkeram tikus tersebut. Tidak ada perlawanan. Semua terjadi dalam hitungan detik.

Semua mahluk yang menempati posisi terendah dalam piramida makanan adalah mahluk-mahluk lemah. Mereka-para mahluk lemah-menyembunyikan diri dan berusaha sebisa mungkin agar tidak tertangkap oleh pemangsa.

Inilah hidup.

Indah namun menyakitkan.

Menghela napas. Sin hanya bisa menatap murung tikus yang kini telah berada di sarang sang burung hantu. Duduk di sebuah kursi marmer, Sin mencoba memahami segala hal; tentang Ibu Suri yang melakukan pemberontakan, segala ucapan sang ibu yang tidak pernah bisa dipahami Sin, sikap dingin yang ditunjukkan Baginda Lion, ketidakpedulian Nihuar, dan semesta itu sendiri.

Kadang Sin bertanya pada dunia; mengapa ia terlahir di tempat yang tidak mengharapkan kehadirannya? Mengapa dia harus jatuh cinta jika hanya untuk merasakan patah hati? Mengapa ada begitu banyak hal yang tidak bisa ia dapatkan? Mengapa harus ada Ringga di dunia ini? Mengapa ia harus berjumpa dengan fana itu?

Selalu mengenai mengapa, mengapa, dan mengapa.

Mengapa harus begini?

Mengapa harus begitu?

Mengapa harus aku?

Ya, kenapa harus Sin? Dari sekian kemungkinan hal yang terjadi dalam diri Sin, elixer itu hanya mengerti sebuah konsep kesendirian.

Sebuah perasaan hangat yang membalut tubuh dengan hawa demam. Sin hanya bisa mengingat sedikit dari sensasi itu. Dan Sin mendapatkan pengalaman itu dari seorang fana.

Menyedihkan.

Dunia ini mungkin hanya berisi dengan kepentingan. Tidak lebih.

Membenamkan wajah di antara kedua lutut. Sin merasa sesak.

Ada sesuatu yang berdenyut tepat di dadanya.

Bangkit, Sin menyentuh dada.

Sakit.

Goyah. Sin kembali duduk. Dia ingin melepaskan apa pun yang membuat dirinya lemah. Sin menatap langit yang berhias permata malam. Gemintang melukis langit dengan aneka kilau, beberapa membentuk aliran sungai bintang. Sangat indah.

Dahulu Sin mendengar kisah bahwa jiwa-jiwa yang telah meninggalkan raganya akan berkumpul di langit. Jiwa-jiwa itu menetap di sana bersama jiwa-jiwa lainnya hingga jumlah mereka tak terhitung lagi. Kisah yang selama ini hanya dipercaya sebagai sebuah dongeng.

Dongeng yang akan menjadi kenangan.

Kembali, Sin merasakan ngilu di dada.

Menjadi kenangan....

Apakah akan ada yang mengenang Sin jika suatu saat ia menghilang dari dunia ini? Mengingatnya di dalam hati dan berjanji tidak akan melupakan Sin dari kotak ingatan?

Ragu. Sin meragukan itu.

"Kenapa kau ada di luar?"

Menoleh ke arah suara, Sin pun mendapati sosok Nihuar yang menghampirinya. Wajah elixer itu terlihat pucat terkena paparan sinar rembulan.

Sin hanya menjawab singkat, "Menjernihkan pikiran."

Nihuar duduk di salah satu kursi yang berada tak jauh dari Sin. "Langit berbintang," katanya. "Dulu Ibu sering mengajakmu jalan-jalan untuk melihat bintang, bukan?"

Menatap pepohonan, Sin pun berkata, "Begitukah?"

Tersenyum masam. Nihuar berusaha mencari kata-kata yang tidak akan memperburuk keadaan. "Sin, apakah kau masih marah padaku?"

"Oh, Kakak," kata Sin sinis, "pernahkah kau memikirkan adikmu yang malang ini?"

"Sin," tutur Nihuar, "berhentilah membenci dunia ini. Ayah, beliau tidak pernah melupakanmu. Adapun yang terjadi, kaulah yang meninggalkan Ayah; menjauh darinya, menghapus keberadaanmu dari kami, dan muncul sebagai musuh. Sin, tidakkah hal yang semacam itu hanya akan melukaimu? Jadi, berhentilah."

Hening. Sin menatap rimbunan bunga lili yang kini dalam keadaan menutup, seolah bunga itu takut pada malam yang menyerupai peri hitam. "Tidakkah kau juga berlaku serupa?"

Diam. Nihuar hanya menatap sosok Sin.

"Tidakkah," ulang Sin, "kau pun bersikap serupa?"

"Sin...."

"Kau melupakanku. Kau memilih Ringga. Dan kau tidak peduli pada apa yang kurasakan. Satu-satunya yang ada di pikiranmu hanyalah apa yang mungkin akan kulakukan pada Ringga. Selalu seperti itu."

Kini Sin menoleh ke arah Nihuar. "Aku sudah lelah," jelas Sin. "Dan mungkin kau berpikir kesukarelaanku mengikuti usulanmu untuk bergabung bersama fana ini adalah murni dari keinginanku." Memiringkan kepala, Sin mendesiskan kalimat, "Kau salah. Aku tidak peduli dengan fana-fana itu, yang kupedulikan adalah cara menyelamatkan Baginda Lion, selain itu aku tidak peduli."

Inilah yang Nihuar takutkan, jarak antara dirinya dan Sin semakin melebar. Hampir bisa dipastikan bahwa sang adik akan terus berjalan di sisi yang berlawanan. Sin akan memilih jalan yang berbeda dari Nihuar.

Ironis.

"Sin," kata Nihuar. "Jangan seperti ini. Apa yang membuatmu berpikir aku tidak peduli padamu?"

"Segalanya," jawab Sin. "Aku bisa melihatnya. Kakak, lebih baik kaubiarkan aku memilih jalan ini ... cara ini ... hidup ini."

Setelah bercakap demikian, Sin bangkit dan meninggalkan Nihuar sendirian di sana. Sin sama sekali tidak menoleh ke belakang. Dia tidak peduli. Ini adalah hidupnya, dialah yang akan menentukan cara untuk mengawali hidup.... Atau mengakhiri hidup.

Andai Sin mendapatkan rahasia Kaisar Ruthven, mungkin dia tidak akan berakhir bersama Nihuar dan Kylian. Tidak ... bukan hanya itu. jika saja segala hal yang Sin rencanakan itu berjalan sesuai dengan keinginan Sin, mungkin dia juga tidak perlu bertemu Ringga dan para fana yang lemah itu. Sin tidak harus mengiakan segala hal yang bertentangan dengan adat elixer. Dia bisa mengambil apa yang ia inginkan ... termasuk gadis itu.

Sin tidak peduli.

Benar-benar tidak peduli.

Kylian boleh menempati takhta tertinggi. Sin akan merelakan hal yang selama ini diimpikannya. Pangeran elixer itu bisa menyerahkan segala cita yang ada asalkan satu keinginannya terkabul: gadis itu.

Ya, begitu sampai di kerajaan fana, Sin akan memastikan apa yang ada di hatinya. Gadis itu pun akan menjawab segala tanya yang mengganjal Sin.

Kalaupun segala jawab atas semesta milik Sin ternyata adalah gadis itu, maka Sin akan melakukan segala cara untuk menarik gadis itu dari sisi Ringga. Dengan sukarela ataupun tidak, Sin akan mendapatkan gadis itu; memaksanya untuk hidup di sisi sang elixer, menemani Sin hingga ajal menjemput, dan Sin akan merasa bahagia karena telah melepaskan segala miliknya.

Tidak apa-apa.

Sin tidak akan menyesali satu keputusan itu.

Setidaknya ia bisa mengerti arti dari memiliki sesuatu yang berharga.

Black Lily (Baca Lengkap Dreame/Innovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang