Lebih Nyata Dari Monalisa

181 21 64
                                    

Awan hitam tebal menutupi kota Hole malam itu, bulan-bintang terlihat malu-malu dalam sinarnya yang redup menembus celah awan kumulus. Kamu duduk sendirian dibangku taman kota itu, menengok ke kanan-kiri, memandangi tiap-tiap kendaraan yang melaju di depanmu. Sebentar kamu tersenyum, kemudian raut mukamu menjadi kecut, tersenyum lagi lalu kecut lagi, dan terus begitu.

Sedetik kemudian kamu bangkit dari bangku itu, berjalan tenang mengikuti seorang wanita yang baru saja melintas di depanmu. Ada seringai tercetak di sudut bibirmu, dan binar kemenangan di manik matamu.

Kamu terus berjalan mengikuti kemana pun wanita itu pergi seperti anjing yang mengekor kemana pun pemilknya pergi. Wanita itu sekarang naik bus kota, kamu pun turut ikut serta, dan kamu duduk tepat di samping wanita itu.

Rintik hujan mulai turun, bau petrichor masuk melalui pintu bus kota yang terbuka. Bau khas saat hujan turun itu, kamu hirup dalam-dalam dan kamu embuskan perlahan. Kamu tersenyum sembari melirik ke arah wanita itu, manik matamu memandang intens, mulai dari ujung kepala hingga ujung kaki wanita itu, sementara bus kota terus melaju menembus hujan yang makin deras.

Satu jam ...

Dua jam ...

Tiga jam ...

Bus kota akhirnya berhenti di sebuah halte, bukan lagi halte kota mu tapi-kota lain yang lebih tua dari Hole, tempat tinggal mu. Wanita itu turun, kamu kembali melangkah mengikuti wanita itu, langkah demi langkah. Jalanan begitu sepi, tidak ada orang lain selain kamu dan wanita itu, kamu mulai berjalan lebih cepat, langkahmu hampir menyamai langkah wanita itu, dan kini jarak kalian sudah begitu dekat.

"Ehm ...." Kamu berdeham cukup keras sehingga wanita itu membalikkan tubuhnya.

"Kamu siapa?" wanita itu bertanya padamu. Kamu menjawabnya dengan seringai lebar dan menunjukkan deretan gigi putihmu yang berjajar rapi.

"Saya pelukis, saya sedang melukis seorang wanita, tapi - saya belum menemukan bentuk mata dan bibir yang pas untuk melengkapi sosok wanita itu, dan saya melihat mata dan bibir anda begitu pas untuk melengkapinya. Bibir dan mata yang begitu sexy," jawab mu.

"Se ... se ... perti apa lukisan Anda?" wanita itu kembali bertanya padamu dengan nada bergetar. Kamu membuka benda persegi yang kamu tutupi kain hitam di hadapan wanita itu.

"Wah ... lukisan yang indah dan terlihat nyata, anda benar, lukisan ini kurang mata dan bibir yang sesuai." Kamu tersenyum miring kepada wanita di hadapanmu.

"Apa anda bersedia membantu ku?" tanya mu. Wanita itu mengangguk mantap, dan kamu pun tersenyum padanya. Kamu merogoh saku celana dan mengeluarkan beberapa barang dari sakumu itu, gunting, pisau palet, kuas, palet, dan kain lap. Itu semua barang yang keluar dari saku kanan mu, lalu kamu kembali merogoh saku kiri dan mengeluarkan beberapa utas tali dan sapu tangan dari saku mu. Saku itu mulanya terlihat rata dan biasa saja seperti saku pada umumnya, tapi-mampu menampung semua peralatan itu, kamu tampak seperti menggunakan sihir pada saku mu.

Kamu menyuruh wanita itu duduk, tanpa persetujuan kamu ikat kaki dan tangan wanita itu. "Kamu mau apa? Kenapa mengikat ku?" Kamu hanya meliriknya dan tersenyum miring, dan kembali mengencangkan ikatan yang ada di tangan dan kaki wanita itu.

"Sudah saya katakan tadi, saya membutuhkan mata dan bibir bukan? Dan-Anda berkata bahwa lukisan saya tampak asli ...," ucap mu sembari terus mendekati wanita itu.


Kamu menekan tubuh wanita itu hingga sulit bergerak, lalu kamu menusukkan gunting ke bahu sebelah kiri Si wanita. Kamu memutar-mutar gunting yang tertancap di sana seperti gerakan memutar mie dengan garpu, rintihan sakit tidak kamu anggap, kamu tertawa-tawa dan bersenandung dengan iringan tangis wanita itu. Puas bermain dengan bahu, kamu mengambil pisau palet dan mengarahkan pisau itu ke mata Si wanita, tangan mu dengan lincah membuka paksa mata itu dan perlahan-lahan mencongkel manik mata wanita itu, satu mata berdarah berhasil keluar dan berada digenggamanmu. Kamu melanjutkan aksimu dengan mencongkel satu mata lagi dan memutus syaraf mata wanita itu, sisa-sisa syraf mata kamu gunting lalu kamu makan seperti mie instan.

"Mata yang indah," ucap mu setelah
meletakkan mata itu ke dalam lukisanmu. Ajaib, mata itu bersatu dengan lukisan. Tapi, lukisan itu belum sempurna, kamu mengiris bibir wanita itu lalu menempelnya pada lukisan, barulah lukisan itu terlihat sempurna. Raut wajahmu begitu ceria, kamu tersenyum bangga melihat hasil lukisanmu. Lebih nyata dari Monalisa.

"Ah ... bibir ini maih kurang merah," ucap mu, kali ini kamu tampak tidak puas, ada kerut-kerut di wajahmu. Kamu kembali mengambil pisau lalu mengiriskan pisau itu ke ibu jarimu, "Tidak ada yang lebih cantik dari merah darah." Kamu beersiul-siul dengan bangga menimang lukisa itu.


Kamu melihat sekali lagi ke arah wanita yang baru saja kamu bunuh, kemudian kamu mengambil gunting di bahunya dan tersenyum memberi penghormatan. "Selamat jalan," ucap mu sambil memberi hormat. Lalu kamu mengemasi semua barang dan-menghilang seperti debu bersama lukisan yang lebih nyata dari Monalisa.


AN:

Aooo ... Navy back ^_^
Kali ini aku bawa new genre, lagi belajar bikin cerita thiller misteri nih. Mohon komentarnya ya, masih belajar dan sangat awam. Thank you ♡♡♡

Lebih Nyata Dari MonalisaWhere stories live. Discover now