Pukul 5 sore, Harry memutuskan untuk pergi ke makam Majorie dan Oliver Swift, berpamitan. Jason dengan senang hati mengantar Harry, walaupun pemuda itu memilih untuk menunggu di dalam mobil daripada harus menemani Harry ke makam.

Harry meletakkan bucket mawar putih yang dibelinya tak jauh dari pemakaman di bawah batu nisan bertuliskan Majorie Swift sebelum berdiri tegak dan tersenyum kepada batu nisan tersebut.

"Hei, Majorie. Terima kasih atas segalanya. Aku senang bisa berinteraksi denganmu, walau aku aj tahu itu nyata atau tidak. Kau mengajariku banyak hal dan kau juga menuntunku untuk sampai di sini." Harry memejamkan mata, merasakan hembusan angin yang menerpa kulitnya.

Harry membuka mata dan melanjutkan. "Aku tak tahu apa kau tahu atau tidak. Tapi kau memiliki seorang cicit, yang mirip sekali denganmu. Namanya Taylor, Taylor Swift. Jika kalian berdiri berdampingan, mungkin banyak yang mengira kalian kembar. Yang membedakan kau dan dia mungkin hanyalah warna rambut dan iris mata."

Wajah Majorie dan Taylor muncul dalam benak Harry. "Taylor sangat mirip dengan kau...saat pertama kali aku melihatmu. Bisa kukatakan, dia benar-benar mirip kau saat kau masih sebuah mannequin. Tapi dia nyata, sedangkan kau tidak." Senyuman tipis muncul di bibir Harry.

"Aku tak mengerti apa yang terjadi, tapi apa kau dan Taylor bekerja sama, untuk mengganggu dunia mimpi serta imajinasiku? Dulu, kau yang menghantuiku, sekarang Taylor. Anehnya, dia seakan mengajaku untuk berperan dalam dunianya. Dunia yang tak kupahami dan bodohnya lagi, aku mengikuti alur, walau pada akhirnya, aku membiarkannya pergi. Menjauh begitu saja." Mendadak Harry mengingat mimpi terakhirnya. Di saat Taylor mengakui semuanya dan berkata jika itu adalah hari di mana mereka akan menjadi orang asing, tak saling mengenal.

"Aku akan kembali ke London malam ini. Aku ingin berpamitan denganmu. Semoga kau selalu bahagia di surga sana. Sampaikan salamku pada Oliver." Harry tersenyum tipis kemudian, teringat satu hal.

"Majorie, bisa tolong sampaikan pesanku pada Tuhan? Aku ingin Dia menjaga Taylor dan membuat gadis itu bisa beraktivitas normal, seperti biasa. Kau tak keberatan jika aku mendekati cicitmu, kan, Majorie?" Harry terkekeh dipaksakan sebelum tersenyum sedih, mengingat bagaimana kondisi Taylor.

"Sampai bertemu lagi."

Kemudian Harry berbalik dan berjalan menuju ke mobil yang dikendarai oleh Jason.

Sesampainya kembali di kediaman Swift, Harry menghabiskan waktu untuk duduk di tepi kolam renang, sampai malam tiba dan Mrs. Swift memanggilnya untuk makan malam bersama.

Tak banyak kata yang ke luar dari mulut Harry. Hari ini dia lebih banyak diam dan melamun. Mrs. Swift beberapa kali mengajaknya bicara, namun Harry hanya menjawab dengan anggukan atau gelengan kepala atau senyuman tanpa arti.

Setelah makan malam, Harry kembali beranjak ke kamar untuk mengeluarkan koper, mengingat Jason sudah cerewet supaya Harry bersiap sehingga mereka dapat ke bandar udara tepat waktu.

Harry memasukkan koper ke dalam bagasi mobil dan mengela nafas. Pemuda itu melirik jam di tangannya, yang menunjukkan pukul setengah delapan malam. Masih ada satu setengah jam sebelum pesawat berangkat.

"Maaf aku cerewet. Kau tahu sendiri, dari sini ke bandar udara membutuhkan waktu paling cepat tiga puluh menit. Belum lagi pemeriksaan, dan lain-laim. Jadi..." Jason menarik dan menahan nafas sebelum tersenyum tipis dan menghela nafas. "Kau punya waktu kurang dari 30 menit untuk berpamitan dengan Olivia dan...mungkin, T?"

Harry membulatkan matanya. "Kau...serius?"

"Sangat serius. Cepatlah. Aku akan menunggu di bawah."

Dengan itu, Harry bergegas memasuki rumah, menaiki tangga dan sudah mendapati Olivia yang berdiri tepat di depan pintu kamar Taylor. Harry tersenyum tipis dan mengangkat Olivia ke dalam pelukannya.

Lagi, Harry mengajak Olivia untuk memasuki kamar T yang sepi. Harry meletakkan Olivia di meja, sebelum meraih kursi dan duduk tepat di samping ranjang tempat gadis itu berbaring.

"Hei, Babe. Aku tak punya waktu banyak jadi, mungkin aku tak akan memberitahumu segalanya." Harry memejamkan mata dan mendekatkan punggung tangan gadis itu ke pipinya.

"Namaku lengkapku Harry Edward Styles. Aku lahir di tanggal 1 Februari. Rambutku keriting kecokelatan, dengan iris hijau. Aku suka Nacos dan Nandos, karena Niall. Well, Niall adalah salah satu nama sahabat dekatku. Selain Niall, sahabat dekatku adalah Louis, Liam dan Zayn. Di kampus, kami terkenal, sangat terkenal. Kami sering disebut magnet yang bisa menarik perhatian para gadis."

Harry tersenyum tipis sebelum melanjutkan, "Aku pecinta kucing, sama sepertimu. Aku juga pecinta musik, seperti Coldplay. Kau juga suka Coldplay, kan? Kau menyimpan CD Coldplay di atas meja." Harry melirik sekilas CD Coldplay yang diduduki Olivia sebelum kembali fokus menatap Taylor yang masih kaku.

Harry mengecup punggung tangan gadis itu. Mata pemuda itu berair, tanpa sebab jelas. "Aku...aku mempunyai lesung pipi, yang hanya terlihat saat aku tersenyum atau bahkan tertawa. Jika kau ingin melihatnya...kau harus...kau harus..." Harry menahan nafas. Tangisnya benar-benar pecah.

"Kau harus bangun dan...aku bersumpah, kau akan menjadi alasan terkuat dibalik senyum dan tawaku. Kau akan menjadi pusat perhatianku. Kau akan menjadi...menjadi prioritas utamaku." Harry menunduk dan menyeka air mata dengan tangannya.

Pemuda itu kembali menatap Taylor dan menggenggam tangan gadis itu lagi. "Ini aneh, sungguh. Kau hanya hadir dalam mimpiku, tak di dunia nyata. Kita hanya berbicara di dalam mimpi, bukan dunia nyata. Kau masih tak nyata, tapi hatiku sudah menjadikanmu pemiliknya. Aku tak meragukan rasaku. Aku benar-benar jatuh cinta padamu dan aku tak tahu kenapa bisa seperti ini. Aku tak pernah menginginkan seseorang, seperti aku menginginkanmu."

Harry memejamkan mata lagi dan mendekatkan punggung tangan Taylor ke pipinya. "Aku bukan seorang pangeran, bukan juga raja, tak memiliki istana pula. Tapi aku bersumpah akan memberikanmu happily ever after dan semua yang kau impikan. Aku akan membuat semuanya menjadi nyata."

Harry membuka matanya yang merah dan berair.

"Please, wake up, Babe."

Harry mengecup punggung tangan itu, untuk yang terakhir kalinya.

A.M.Where stories live. Discover now