7. Pupus

3.3K 213 12
                                    

Flashback

Drrt.. Drrt..

Sebuah ponsel bergetar di atas nakas, membuat pemiliknya terbangun dan segera mengambil ponsel tersebut. Aiden memicingkan kedua matanya melihat siapa yang pagi-pagi buta seperti ini sudah menghubunginya. "Arin?" gumamnya, kemudian mengucek matanya yang perih karena terkena sinar ponselnya.

"Hallo. Iya, Rin kenapa?" jawab Aiden mengangkat panggilan dari Arin

"Aiden, gue sakit.."

Aiden memutar malas kedua bola matanya. "Terus?" tanya Aiden. Lelaki itu tidak mengerti dengan Arin. Kalau sakit, ya seharusnya gadis itu pergi ke Rumah Sakit, bukan malah menelfonnya pagi-pagi buta seperti ini.

"Lo bisa kerumah gue ngga? Gue sendirian di rumah.."

"Gue lagi ngga di Jakarta." Jawab Aiden malas.

"Aiden pliis.." Arin memohon kepada Aiden agar lelaki itu bisa menemuinya sekarang juga. "Gabisa, Rin." Kata Aiden tegas.

Bagaimanapun juga Aiden tidak ingin meninggalkan tempat ini. Acara ini disiapkan oleh teman-temannya dari jauh-jauh hari, bahkan dari sebulan yang lalu. Aiden mengetahui bagaimana perjuangan mereka untuk menjalankan acara ini. Tidak mungkin baginya untuk pergi begitu saja.

"A..Aiden."

Tubuh Aiden tersentak mendengar suara Arin yang terdengar begitu berat, "Rin?" Aiden semakin panik saat Arin tidak menjawabnya, "Rin? Lo gapapa? Rin? Hallo! Rin! Oke gue kesana. Lo jangan kemana-mana!"

Tut..tut..tut..

Lagi-lagi Aiden harus menemui gadis itu.

Aiden beranjak dari tempat tidur, dengan langkah tergesa-gesa lelaki itu mengambil Jaket yang tersampir di kursi. Kemudian Aiden berlari ke luar kamar.

Suasana Vila masih sangat sepi. Jelas. Jarum jam baru menunjukkan pukul lima lewat tiga puluh. Aiden menyapu pandangannya, berharap ada seseorang yang bisa dia temui saat ini. Lelaki itu bernafas lega saat melihat Raymond dan Nesya yang tengah berfoto di tepi danau.

"Nesya! Raymond!"

Nesya menoleh seraya menatap heran Aiden, "Aiden?" kata Nesya bingung.

"Seh santai, Bro. Tarik napas.." perintah Raymond.

"Halah kelamaan." bentak Aiden dengan nafasnya yang terengah-engah.

"Lah ngapa gue jadi diomelin." Sahut Raymond menggaruk kepalanya.

"Sya, gue izin pulang ke Jakarta ya? Penting banget."

Kening Nesya mengernyit mendengar ucapan Aiden, "Lho kok gitu, Den? Kenapa emang?" tanya Nesya.

"Penting, Sya."

"Iya pentingnya kenapa, Sob." celetuk Raymond.

"Udah ngga usah banyak tanya. Kalo gue bilang penting ya berarti penting!"

"Salah apa gue kena semprotan mulu." gumam Raymond mengalihkan pandangannya seraya mengusap dada bidangnya. Melihat Raymond seperti itu, membuat Nesya ingin tertawa.

Perhatian Nesya kembali terarah ke permintaan Aiden sebelumnya, "Yaudah gapapa, Den, kalau menurut lo penting." kata Nesya seraya tersenyum.

"Sorry ya gue ngga bisa ngikutin kegiatan hari ini."

"Iya gapapa, Den."

"Ye."

"Thanks sob." jawab Aiden sembari menepuk pundak Raymond dan Nesya, kemudian lelaki itu kembali berlari menuju jalan raya.
Aiden berdiri di pinggir jalan sambil mencoba menghubungi Arin lagi. Berkali-kali Aiden mencoba menghubungi gadis itu, tapi Arin tak kunjung mengangkat panggilannya. Okay, rin, kenapa sih lo selalu buat gue khawatir. Gumam Aiden di dalam hatinya.

Geandert [Completed]Where stories live. Discover now