Reflection - Tujuh

6.6K 628 29
                                    

7. Rara dan Kisahnya

        Gelap nan gulita. Kemudian terang lalu kembali gelap. Terus begitu, mengikuti siklus kecepatan kerjapan mata. Sang pemilik kini mencoba menetralisir cahaya yang masuk ke dalam matanya. Setelah dirasa normal kembali, ia menghela napas panjang. Ia masih selamat dan waras. Ia tidak mati di alam mimpinya. Dia sehat meskipun sejatinya, dia sama sekali tidak sehat.

        Rara pada akhirnya memilih bangun dan menyenderkan punggungnya ke headboard tempat tidur. Dia memejam sejenak. Mimpinya terlalu nyata dan menyakitkan. Sampai kapan pun, dia tak pernah sanggup untuk berdiri di sebuah bioskop tua yang selalu menyetel rekaman pembunuhan yang terjadi 12 tahun lalu. Rara tak akan pernah sanggup melihat kedua tokoh utama itu merenggang nyawa demi putri kecilnya. Rara tak akan pernah sanggup untuk menelan pil besar yang berisi pernyataan bahwa rekaman yang ia tonton adalah sebuah kenyataan di keluarganya.

        Tarikan napas berat lagi-lagi menjadi pengisi ruangan yang membisu ini. Namun, bukan sebuah udara segar yang dia dapat, ia malah menjumpai bau anyir. Anyir. Bau ini kebanyakan selalu tertuju akan darah. Darah. Cairan merah gelap itu adalah ketakutannya. Dan, kini ini sebuah pertanda.

        Rara membuka matanya lebar-lebar, memandang betapa kacau kamarnya saat ini. Beling beserakan, goresan benda tajam dimana-mana, lengan yang dibungkus oleh pembalut luka, dan yang paling parah: darah.

        Napas Rara kontan memburu ketika melihat darah berceceran di lantai dan kasurnya. Mual mulai mendera. Isi perutnya seakan sudah mulai naik ke kerongkongan. Rara menggeleng-geleng tak kuasa. Pusing. Semuanya terasa berputar dengan cepat, seperti penderita vertigo. Sesak mulai ada dan membuat Rara seolah terjangkit asma. Rara harus bangkit dan pergi keluar.

        Perlahan, dia menutup hidungnya, menurunkan kakinya dan mulai memijakkan kaki ke lantai. Namun, seakan Dewi Fortuna sedang unmood untuk memberikannya keberuntungan, telapak kaki Rara menginjak serpihan beling yang bercecaran di lantai. Kontan, darah mulai merembes keluar. Rara terpekik panik. Dia menahan napasnya, mencoba untuk mengeluarkan beling tersebut namun gagal. Ia terlalu panik. Tangannya bergetar hebat.

        Tak mau untuk terus berada di ruang siksaan seperti untuk pendosa besar dunia, Rara segera berjalan cepat ke arah luar dengan terpincang-pincang. Matanya ia fokuskan betul-betul ke arah bawah, tak ingin membuat kedua kakinya berdarah hingga harus mengesot tuk keluar kamar.
       
Dan, cewek itu berhasil. Namun, dia tak berhasil menahan gejolak mual yang mendera hingga sedetik dia menapakan kaki di bagian luar, Rara mengeluarkan seluruh isi perutnya yang kosong. Kerongkongannya terasa panas kemudian. Karena tak terisi sejak kemarin sore, campuran lendir dan asam lambung-lah yang keluar. Rasa lapar menguap seketika semenjak dirinya menyenggol sedikit kisah masa lalu di kediaman cowok itu. Cowok yang berstatus ketua kelas sekaligus ketua OSIS namun memiliki sebuah hubungan tak kasat mata dengannya.

        Rara membasuh bibirnya dengan keliman baju lengannya yang panjang. Ia mendongak ke atas, mengatur napas, dan mulai menangis. Bulir-bulir air mata meluruh membasahi pipi. Isakan sedikit-sedikit mulai menyelip keluar dan semakin keras bunyinya. Dia tahu. Rara tahu bahwa Jane datang. Rara selalu tahu. Bi Sumi selalu bercerita tentang apa yang Jane lakukan dengan tubuhnya.

        "Astaghfirullah! Non Ara!"

        Cewek itu membuka matanya, menoleh sedikit ke arah Bi Sumi yang berlarian ke arahnya. Wanita tua itu mengecek kondisi kakinya yang terasa nyeri luar biasa. Mungkin pecahan beling itu telah masuk lebih dalam lagi.

        "Belingnya nancep, Non. Bentar ya, Bi Sumi ambil air hangat dulu baru abis itu Bi Sumi cabut belingnya," cuapnya yang langsung berlalu cepat ke arah dapur. Selalu seperti ini. Jika Rara terluka akibat benda runcing, Bi Sumi akan dengan cekatan membasuh lukanya dengan air hangat terlebih dahulu sebelum diberikan obat merah. Beliau berkata bahwa air hangat membuat luka tak terasa lebih perih dan Rara mengakui kebenarannya.

TCP [2] : "Reflection"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang