2 | R o b u s t a

47 2 0
                                    

Lukas terlambat.

Pukul enam pagi ini. Aku bangun kelewat pagi setelah semalam tidak tidur, segera melipat selimut, dan mengecek ponsel. Aku sudah membasuh wajah sebanyak tiga kali hanya untuk mengusir kantuk. Lalu duduk termangu di tepi ranjang.

Aku sudah merapikan sepatu-sepatuku ke dalam rak di dekat sofa di ruang duduk, mengelap sepatu-sepatu itu hingga kembali hitam mengkilat. Aku juga yang mencuci piring kotor yang menumpuk. Aku sarapan ala kadarnya di pantry, menyeduh kopi sendirian, dan menunggu ketidakpastian. Si Robusta itu benar-benar tidak pulang semalam. Kamarnya dikunci dari luar.

Akhirnya aku memutuskan pergi ke Terracotta lebih dulu. Seharusnya aku senang tidak ada Lukas, jadi aku bisa kembali meringkuk di balik selimut hingga petang. Sekarang, rasa penasaran lebih menguasai diriku untuk menemukan Si Robusta itu lebih dulu.

Aku menuruni tangga di apartemen tiga lantai ini. Bangunan merah bata tanpa lapisan cat, tanpa halaman atau pekarangan di depan, dan kedai milik Ron yang tak jelas di lantai satu. Untungnya, letaknya strategis, tidak terlalu jauh dari Terracotta. Aku menuju lobby ingin meminjam payung, sebelum akhirnya tercium aroma daging asap habis panggang dan mesin jus dari kedai.

Ron sepertinya sibuk di pagi hari. Setelah lari tiga putaran, Si Robusta biasanya duduk di sana sebentar meminta Ron membuatkan roti isi daging dan jus sayur. Masakan Ron amat standar, itu sebabnya kedai ini hanya ramai oleh penghuni yang kehabisan stok akhir bulannya.

Ah. Aku bisa gila kalau tidak segera pergi.

Semalam setelah aku mengantar Ben pulang, hujan lebat benar-benar menjebakku di perjalanan. Taksi yang kutumpangi mogok. Tengah malam aku baru tiba dan semua lampu benar-benar padam layaknya rumah tanpa penghuni. Ah. Aku makin geram dengan Si Robusta itu.

Kurasa Si Pecandu Rum itu tidak mungkin datang pagi lagi. Mungkin lelah mendapat makian dari Lukas, kepayahan untuk bangun, atau dia benar-benar sudah sadar diri, dia bukan barista.

Aku yang membuka Terracotta sendirian hari ini. Kafe ini memang sederhana entah apa yang membuatnya masih tren di kalangan masyarakat.

Sudah dua tahun ini aku bekerja di sini, akrab dengan seragam hitam bercorak batik di ujung kerah-tepi-lengan dan celemek merah marun yang senantiasa melingkar di pinggang. Gajiku di sini cukup untuk membiayai hidupku kesehariannya, karena aku tak perlu merogoh saku hanya untuk makan siang dan makan malam, sedangkan Lukas yang mentraktirku sarapan.

Kuamati interior dekorasi kafe ini, terlalu monoton untukku. Lampu gantung remang keemasan sepertinya tidak terlalu menerangi saat malam hari. Lantai keramik warna cokelat caramel dipadukan dengan dinding bata bercat cokelat terracotta, beberapa foto dan lukisan abstrak menggantung di antara gambar kopi yang jadi andalan di sini. Musik hingga lagu-lagu dari pengeras suara di sudut-sudut dinding atas mengisi kekosongan. Beberapa papan kapur bertuliskan menu diganti setiap harinya.

Papan kayu bertuliskan alamat nama kafe ini menggantung besar di depan. Dinding merah bata menjadi pembatas-pembatasnya, pagar-pagar pendek hitam mengeliling di depan. Sedikit tanaman tumbuh di halaman kecil di depan dan beberapa menggantung di dekat pintu masuk. Klasik.

Kuamati gerimis samar di luar kaca dinding pembatas. Ah, aku hanya bisa mendesah. Dari sini kulihat Si Pecandu Rum datang dengan berjalan kaki, setelah dua tukang masak di dapur tiba . Isunya hari ini pemilik kafe akan datang. Dan Lukas benar-benar sedang bermasalah sekarang ini.

"Di mana Si Robusta?" Ben menegurku setelah melipat jaketnya dan mendapatiku duduk di salah satu kursi dekat jendela.

"Kabur. Mati. Aku tak mau peduli pada dia lagi." Aku ingin menghajarnya sekarang.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Jul 30, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

T e r r a c o t t aWhere stories live. Discover now