Alyssa: Belom, lagi motokopi soal.

Me: Alhamdulillah.

Aku memasukkan kembali ponselku ke dalam saku kemeja seragamku. Kemudian aku duduk di warung depan sekolahku.

Beberapa detik kemudian, suara motor terdengar di telingaku. Aku menoleh melihat siapa yang telat juga sepertiku. Motor itu berhenti tepat di hadapanku. Lalu, pengemudinya membuka kaca helm yang dia gunakan. Huh, aku bernafas lega melihat siapa yang telat juga sepertiku.

"Leen." ujarnya menaikkan kedua alisnya, kemudian turun dari motornya dan berjalan ke arah pak Mansur yang tengah menyeruput kopi hitam.

"Misi, Pak," Pak Mansur menoleh, "Kami ada ulangan matematika, Pak." lanjut Raymond.

"Lah terus? Aye kudu ape?" tanya Pak Mansur dengan logat Betawinya yang khas.

Aku berlari kecil menghampiri Raymond dan juga Pak Mansur, "Tolongin, Pak, pliiiis, masa depan saya bisa ancur nih, Pak kalo ngga ikut ulangan." bujukku. Sedikit lebay memang.

"Et dah, Neng, masa depan lu bakalan tetep ancur kalo lu bangun kesiangan mulu." Jawab Pak Mansur, membuatku menyeringai seraya menggaruk kepalaku yang tidak terasa gatal.

Pak Mansur berdiri, "Bentar. Diem-diem lu berdua di mari, aye mau panggil bu Hotma dulu." lanjutnya.

Aku menghembuskan nafas lega. Kemudian bersandar di pagar sekolahku sembari memerhatikan Raymond yang tengah menaiki kembali motornya.

"Motor baru tuh, Ray."

"Yoi!"

"Halah paling boleh betak dari bengkel."

"Kalo ngomong." Raymond menyalakan mesin motornya, lalu memainkan suara knalpotnya, "Gimana? Keren kan gue." ujarnya seraya menepuk tangki bensin motornya.

"Kaga biasa aja." Jawabku datar.

"Butuh waktu bertahun-tahun nih buat gue dapetin nih motor." sahutnya mematikan kembali mesin motornya.

"Demi Allah gue kaga nanya, Ray."

"Aileen kau lagi rupanya yang telat! Dan siapa itu?" Bu Hotma menyipitkan matanya untuk melihat lebih jelas Raymond yang sedang turun dari motornya. "Kau pula Raymond! Kalian berdua tak ada kapok-kapoknya ya!" lanjutnya.

Guruku yang satu ini berasal dari Medan dan logat bahasa daerahnya masih sangat kental. Terkadang, kalau beliau sedang mengajar, logat Medannya masih keluar. Tidak jarang, gerombolan laki-laki di kelasku sering mengolok-olok Bu Hotma.

"Apalagi alasan yang akan kau gunakan Leen? Ray?"

"Kesiangan, Buuu." jawabku dan Raymond berbarengan.

Bu Hotma menggelengkan kepalanya, kemudian beliau mencatat namaku dan juga nama Raymond di buku poin. Poin yang dimaksud bukan poin prestasi, melainkan poin perlakuan buruk yang sudah kami lakukan.

"Saya akan berikan kalian dua puluh poin." ujarnya.

Itu tandanya nyawaku di EHSH berkurang dua puluh lagi. Kami sebagai siswa siswi East Hamptons Senior High School memiliki sebuah peraturan yang sangat susah untuk di laksanakan. Jika poin pelanggaran kami sudah mencapai angka seratus, berarti kami harus di Drop Out dari sekolah ini. Yaa paling minimal banget tidak naik kelas.

"Yah Bu jangan dua puluh Bu, dua aja gimana?" kata Raymond berusaha menawar. Penawaran yang sangat sadis. Ibu-ibu rempong aja kalau nawar baju ngga sampai segitunya.

"Tidak! Saya inginnya dua puluh. Kalian berdua sudah kelewatan! Sudah hampir tiap hari telat dan tak pernah kapok!"

"Ya tapi jangan dua puluh juga bu, kurangin dikit kek."

Geandert [Completed]Where stories live. Discover now