Serpihan kesempurnaan hidup. Milo ingin tertawa mendengar teori yang dia buat. Hidup seseorang memang tak akan pernah 100% sempurna. Selalu ada cobaan yang membuat hidup memiliki tingkat-tingkat kebahagiaan. Misalkan, seorang anak yang terlahir tanpa orang tua dan seorang anak yang lahir dengan orang tua yang lengkap. Keduanya sudah menduduki peringkat yang berbeda.

        Dan, percaya tak percaya, Milo berada di tingkat terbawah dibanding kelima temannya. Sudah tak mempunyai orang tua dan kerabat, Milo juga memiliki penyakit yang hanya diketahui oleh Om, Sheren, dan Dokter Via yang tadi baru saja memeriksanya. Kelima temannya tak tahu dan Milo memang tak berniat untuk memberitahukannya. Ini terkait dengan misi melupakan hal tersebut sesuai dengan janjinya di time capsule. Time capsule yang ia buat bersama keenam temannya di awal tahun.

        Time Capsule ala Milo:

1. Menjadi orang yang semakin baik.

2. Bisa membanggakan keluarga.

3. Tak perlu merepotkan Sheren

4. Tidak lemot lagi otaknya

5. Melupakan hal yang tak sepatutnya diingat.

        Namun, semuanya terasa tak berarti ketika penyakitnya dinyatakan kambuh kembali. Dokter Via sendiri yang mengatakannya. Walaupun masih dalam stadium ringan, tapi ini tetap saja kutukan. Halusinasinya datang lagi. Apa yang sudah dia lakukan hingga kutukan ini kembali?

        TENG.

        Suara bel pintu rumah. Milo melirik jam yang tergurat di layar ponselnya. Pukul tiga lewat lima belas. Itu sudah pasti Rara.

        "Biar Sheren yang bukain, Bang. Abang di kamar aja," ucap Sheren kemudian berlalu langsung ke arah pintu utama dan membukakan pintu tersebut lebar-lebar. Awalnya, dia membuka pintu dengan tersenyum formal, tapi ketika bisa dia tangkap siapa yang kini berada di depan pintu tersebut, senyumnya luntur seketika.

        "Hai," sapa cewek itu yang dibalas tatapan datar Sheren.

        Suasana canggung mulai memeluk Rara. Ia tersenyum kecil, menunggu balasan dari bibir Sheren namun tampaknya adik dari ketua kelasnya ini enggan berbicara sepatah kata pun. "Aku ke si—"

        "Nyari Bangjan?" potong Sheren datar.

        Rara mengangguk sangsi. Sheren sudah seperti Milo kedua, mengerikan. "I-iya."

        "Nggak bisa, lagi sakit."

        "Ta-tapi, dia yang nyu—"

        BRAK.

        Pintu ditutup sepihak, membuat Rara membulatkan matanya lebar-lebar sambil meneruskan kalimatnya yang terpotong. Apa sebegitu sebalnya Sheren padanya hingga untuk menerima masuk atas permintaan kakaknya saja, dia tak sudi? Rara menghela napas pasrah. Dia pun memilih duduk di kursi teras, pasti dalam beberapa menit mendatang pintu ini akan dibukakan kembali oleh Milo. Dan, benar. Setelah suara argumen samar-samar yang bisa indra pendengaran Rara tangkap, pintu itu pun terbuka dan menampilkan sosok Milo dengan wajah pucatnya.

        "Maaf ya, adek gue lagi badmood. Maklum ya, Ra, lagi puber," kata Milo yang diakhiri dengan senyuman canggung. Rara pun mengangguk mengiyakan dan segera masuk ke dalam ketika Milo mempersilahkan dirinya untuk masuk.

        Kesan pertama yang dia dapatkan setelah masuk ialah kesepian, persis seperti di rumahnya. Rumah ini besar, tapi terlalu hening. Rumah ini bisa mencakup kira-kira delapan orang, tapi nyatanya hanya dua orang yang tinggal di sini. Rara pernah membaca sebuah artikel lewat ponsel pipihnya bahwa rumah adalah cerminan pemiliknya.

TCP [2] : "Reflection"Donde viven las historias. Descúbrelo ahora