1 | A r a b i c a

162 6 7
                                    

Terracotta buka seperti biasa di Senin pagi ini.

Bukan kesalahan siapa-siapa, kunci dapur aku yang membawanya pulang semalam. Lukas mengekor di belakangku, sesekali kakinya menendang-nendang kerikil di tanah basah. Matanya mengawasiku dari belakang, takut kalau aku berbalik pulang dan lebih memilih mengunci diri di apartemen. Kekanak-kanakan.

Padahal pagi ini gerimis, untuk apa aku keluar rumah dengan percuma seperti ini. Bahkan yang dikenakan Lukas adalah mantel basah yang sama dengan kemarin malam, aku mana peduli dengan hujan badai. Begitu Terracotta terlihat di persimpangan, Lukas mengambil langkah cepat dan menyusulku.

Lantai terasnya amat basah, lampunya juga belum dipadamkan, ada sepeda fixie biru di halaman, dan pintu depan sedikit terbuka. Ada yang mendahului kedatangan kami. Lukas yang akan mengatasi masalah ini semua. Memarahi tamu lancang yang datang sepagi ini bukan tugasku.

Aku lebih memilih membuka dapur, kembali tidur, dan akan keluar setengah jam lagi.

Sebuah punggung dengan jaket katun tipis berdiri di dekat mesin penggiling, bermain-main dengan kopi rupanya. Lalu, sebuah bantingan kaca memenuhi atmosfer Terracotta, siapa yang berulah kali ini entah sengaja atau tidak.

Lukas tengah membenahi gantungan mantel yang jatuh di belakang pintu tiba-tiba saja menoleh. Aku yang hampir terpejam kembali terjaga. Dia-Si Pecandu Rum-pria dengan jaket katun tipis-tamu yang tak diharapkan pagi ini, memecahkan cangkir mahal dari Hongkong kecintaan putri pemilik kafe ini.

Lihat saja, Lukas akan menghabisi Si Pecandu Rum dalam sekejap.

Menyeduh kopi satu-satunya hal yang bisa kulakukan.

"Bejana kopi harus dipanaskan, jangan terlalu mendidih. Taruh kertas saring sekaligus bubuk kopi di atasnya, lalu tuang air pada takaran yang pas." Aku seperti mendemokan cara menyeduh kopi paling mudah ini.

Lamat-lamat aku mencium aroma kopi. Hangat. Tenang. Menampar kesadaranku.

Si Pecandu Rum hanya mencibir malas lalu berlalu ke bar. Dia tidak paham etika dan kurang ajar. Dia hanya paham soal alkohol dan permainan poker, dia rajanya di sini.

"Lalu jangan lupa buang kertas dan ampasnya juga." Aku menyela kegiatannya di bar.

Dia berkutat dengan gelas-gelas tinggi di barnya, dan mengelap botol-botol yang baru saja keluar dari lemari penyimpanan. Kali ini memang kurang ajar.

Lukas yang jengah melihat dia, memilih masuk ke dapur, menyisakan aku dan Si Pecandu Rum di ruang depan.

"Menyeduh kopi lebih mudah ketimbang kamu dipaksa meneguk bir lima kaleng sekaligus. Aku sudah buatkan kopi ini untukmu, silakan. Masalah cangkir, kita bicarakan nanti malam saja." Aku menuju meja terdekat, meletakkan cangkir kopi baru seduh dengan uap hangat masih menguar di atas meja.

Si Pecandu Rum hanya diam, melirik pun tidak. Gelas di tangannya menjadi sangat licin dan luar biasa mengkilap. Harusnya bukan dia yang kesal, tapi aku sekarang.

"Kau tahu bagaimana caraku membentak pelanggan yang tidak menghargai kopiku?"

Dia mengangkat pandangannya. Lalu langkahnya menuju ke sini, terus dengan mengintaiku.

"Satu cangkir untuk satu sloki, bagaimana?" Licik.

Lukas pernah memperingatiku keras untuk tidak menyentuh minuman berkadar alkohol itu lagi. Aku ingat betul, padahal aku pernah menghabiskan semua sloki dalam lima putaran permainan poker dengan Si Pecandu Rum ini.

"Takut dengan Si Robusta itu?" Dia mencibirku.

"Ben!" Bahkan aku kelewat geram sekarang.

Pintu dapur terbuka, deritnya tidak bisa diredam karena kesunyian di sini. Lukas keluar dari sana. Mengintai kami dengan tatapan diamnya, tepat saat aku meluruskan tatapannya, dia mengincar Ben-Si Pecandu Rum, bukan aku. Aku tidak takut dengan Lukas, aku juga tidak takut dengan Ben.

T e r r a c o t t aWhere stories live. Discover now