Reflection - Satu

Start from the beginning
                                        

        Wajah Citra saat ini benar-benar merah. Ia dipermalukan dan ini membuat satu poin bertambah dalam genggaman Jati. Cewek itu menampar Jati kencang namun sial hal itu dilihat oleh Bu Ratip. Wanita yang baru saja menjabat dua bulan sebagai guru di SMA Paraduta itu langsung membulatkan besar matanya. "Apa-apaan ini?!"

        Kelas yang semula berisik langsung bungkam seribu bahasa. Murid-murid dengan cepat kembali ke tempat duduknya masing-masing. Wajah Citra pias seketika, dia langsung duduk ke tempatnya setelah menendang tulang kering Jati kencang. Jati yang duduk di barisan seberang meringis, menatap tajam Citra yang sudah memfokuskan pandangannya ke arah Bu Ratip.

       "Milo, jelaskan apa yang terjadi," tuntut Bu Ratip yang membuat Milo mau tak mau menjelaskan semua perkaranya sejak awal. Beberapa gelak tawa sempat terjadi kembali ketika bagian lucu dari reka ulang tersebut terdengar. Bu Ratip hanya bisa geleng-geleng kepala. Wanita itu bangkit berdiri, berjalan mengarah Jati dan menyentil pelan kening cowok itu dengan gemas.

        "Kamu ini isengnya nggak pernah hilang ya? Ruang guru tuh isinya komplen tentang kamu semua," kata Bu Ratip.

        "Wah, bilangin dong, Bu. Menggunjing orang itu nggak baik. Kata guru ngaji saya, kalau menggunjing orang itu sama saja kayak memakan bangkai saudaranya sendiri. Berarti para guru itu sama aja kayak makan bangkai saya, kayak kanibal," celetuk Jati. Sangat khas.

        "Emangnya para guru itu nganggep kamu saudara?" tanya Bu Ratip yang membuat gelak tawa terjadi kembali. Terlebih lagi tawa milik Citra, penuh kepuasan. Jati mencebikkan bibirnya. "Kita ini saudara seiman, Bu."

        "Ya sudah kalau gitu Ibu punya tugas. Berhubung tugasnya berkelompok, kamu sama Citra satu kelompok ya. Hm, terus—"

        "Keberatan, Bu!" pekik Citra dan Jati bersamaan. Keduanya saling lirik kemudian mendengus sebal tak terima.

        "Saya nggak akan bisa bikin tugas, Bu, kalau diganggu dia!"

        "Saya sih mending nggak ngerjain tugas, Bu, dibanding harus sama Citra. Idih, dosa apa gue bisa sama lo, Cit."

        "Nggak ada 'tapi-tapi'-an. Kalau kalian menolak, nilai sikap kalian C dan tau 'kan kalau nilai sikap C itu bakal kenapa? Coba jawab, Milo."

        Milo menoleh ke arah belakang, menatap Citra dan Jati yang kini mengubah mimik wajah menjadi semelas mungkin. "Nggak naik kelas," jawab Milo tenang.

        "Tepat sekali! Kalau gitu yang di sebelah Citra sama ... ah, nggak mungkin sama Revan." Bu Ratip pun memandang muridnya satu persatu. "... sama Milo. Rara kamu sama Milo ya. Sisanya bebas sama siapa saja. Tentukan kelompok kalian kemudian duduk sesuai kelompoknya dalam waktu 15 menit."

        Milo mengerutkan keningnya. Rara? Dia jelas tahu siapa cewek itu hanya saja selama dua tahun mereka berdua sekelas—Milo selalu memasuki kelas IPA 1 alias kelas unggulan—ia tak pernah mengenal Rara secara lebih lanjut. Cewek itu benar-benar sangat pendiam, hanya berbicara seperlunya, bahkan dengan Citra sekali pun. Padahal, setahu Milo, Citra adalah sahabat cewek itu sejak SMP.

        "Dib, sorry ya kita nggak sekelompok seperti biasa," ucap Milo ke Dibo yang selalu menjadi chairmatenya sejak kelas 10. Walaupun terkesan dingin atau jutek, Milo tetap memiliki banyak teman dari berbagai kalangan. Jabatan ketua OSIS yang dia pegang pun menuntut semua orang untuk mengenalnya.

        "Selow, Mil. Gue sama Revan aja. Gih, sana sama Rara. Titip salam ya dari gue," ujar Dibo sambil mengedipkan sebelah matanya, membuat Milo mau tak mau menoyor kepala botak cowok itu lalu langsung bergegas berpindah ke meja Rara.

        Ini pertama kalinya Milo duduk di sebelah Rara, begitu pula dengan Rara yang selama masa SMA-nya selalu duduk dengan Citra. Jujur saja, Milo bingung harus berbuat apa hingga pilihan yang paling tepat adalah diam sembari mendengarkan penjelasan tentang tugas kelompok dari Bu Ratip.

        "Jadi, kalian buat sebuah album foto yang isinya bertema kekelabuan, keindahan, dan perpaduan dari kedua hal tersebut. Objeknya bebas tapi harus ada minimal salah satu anggota dalam satu kelompok itu. Tugas seni rupa ini Ibu kasih waktu satu bulan. Sekarang tanggal 15 Maret, berarti dikumpulinnya tanggal 15 April. Setiap album minimal diisi dengan 20 foto dan kelompok pertama yang mengumpulkannya ke Ibu, dia dapet bonus nilai. Oh iya, sampul album itu harus kalian sendiri yang desain ya."

        Bonus nilai. Ini tawaran yang sangat menggiurkan. Meski dari mata pelajaran yang tak bersifat wajib, tetap saja nilai bonus akan selalu menggiurkan. Terlebih lagi untuk kelas ini yang juga disebut kelas terambisius dari yang ambisius.

        Suasana kelas pun kembali ramai setelah Bu Ratip memberikan waktu diskusi. Milo melirik teman di sebelahnya yang masih juga terdiam. Jemari cewek itu saling menaut, seperti grogi, membuat Milo merasa dirinya sangat menyeramkan sekarang.

        "Hm," Milo bergumam sebagai pembuka obrolan. "Gue sangat menakutkan ya?"

        "Eh?" Ini suara pertama yang Milo dengar dari bibir cewek di sebelahnya. Milo menatap lekat cewek yang perlahan menoleh ke arahnya hingga tiba-tiba tubuhnya membeku di tempat. Mata coklat terang itu menatapnya datar namun ada gelenyar aneh yang Milo rasakan.

        Seperti deja vu.

        "Ma-maaf, gue nggak bermaksud," lirih Rara sambil membuang kembali pandangannya, membuat Milo kembali mencair. Atmosfer di antara keduanya seperti berada di hutan yang terisi komplotan lapar hewan karnivora. Hening dan mencekam. Milo benar-benar tak tahu harus mengatakan apa. Cowok itu masih sibuk dengan keterkejutannya.

         Mata itu tak asing. Ia telah menatap begitu banyak pasang mata namun mata cewek di sebelahnya terasa berbeda. Seperti mengetuk pintu dari sesuatu yang sudah lama dirinya lupakan. Milo yakin dengan pikiran di otaknya. Mereka berdua pasti pernah bertemu.

         "Jadi, kita mau bahas apa?"

         Pertanyaan yang keluar dari bibir Rara membuat Milo kembali berpijak. Atmosfer hening dan mencekam itu tiba-tiba menguap, membaur dengan atmosfer kelas yang sangat ramai.

         "Gimana kalau kita bahas konsepnya dulu?" tawar cowok itu.

         Rara mengangguk sebagai jawaban, tak bersuara.

         "Okey, pertama kita bahas aja dulu siapa yang jadi modelnya. Lo bisa fotografi?"

         Rara menggeleng, lagi-lagi tak bersuara. Kepalanya masih sedikit tertunduk meski mengarah pada Milo. Nampaknya tampang Milo benar-benar menakutkan.

         "Gue bisa. Gimana kalau yang jadi modelnya itu lo aja?"

         Rara menggeleng lagi, kali ini lebih cepat dengan pandangan yang mengarah tepat ke manik mata Milo. "Gue nggak bisa bergaya di depan kamera."

         "Lo nggak perlu gaya kayak model, kok. Dengan diam dan berdiri aja, gue bisa. Oke?"

         Cewek itu tampak enggan tapi mau tak mau ia mengangguk. "Kapan kita mulai?"

         "Besok malam, gimana? Kita ambil foto tentang kekelamannya aja dulu," saran Milo yang dibalas persetujuan oleh Rara.

         "Oke, desain sampulnya gue yang urus," kata Rara.

         "Oke ...."

         Dan atmosfer di antara keduanya kembali dingin, seperti sebelumnya. Namun, setidaknya Milo punya kabar baik, dia mendapatkan partner yang bisa diandalkan. Rara adalah pemegang peringkat kedua di kelas, berada persis di bawah Milo. Jika saja Rara termasuk orang yang extrovert, sudah pasti Milo akan menjadikan Rara sebagai kandidat wakil ketua OSIS, bukannya Mia.

          Bagaikan penyelamat, bel istirahat kedua telah berdering ke seantero sekolah. Bu Ratip segera pamit keluar dan mengatakan bahwa jam selanjutnya dia akan terlambat sekitar 10 menit lagi. Milo pun segera bangkit dari tempat duduk Citra. Tak lupa dia menyunggingkan sedikit senyum formalitas.

          "Nanti gue kabarin lagi. Gue duluan ya, Ra," kata Milo yang hanya direspon anggukan kecil dan senyum canggung.

TCP [2] : "Reflection"Where stories live. Discover now