Seven Minute to Remember

1.4K 108 11
                                    

Apakah kau tahu keadaan dimana kau berada diantara sadar dan tidak sadar? Kau tertidur, tapi kau masih bisa menyadari keadaan sekitarmu. Jiwamu sampai di alam mimpi, tapi pikiranmu tidak. Kau tahu tempat itu? Ya, itu adalah tempat dimana aku selalu membisikkan kata-kata cinta padamu.

Apa kau juga tahu keadaan dimana kau berada diantara hidup dan mati? Kau mati, tapi jantungmu masih berdetak. Jiwamu pergi, tapi hatimu masih tetap tinggal. Kau tahu tempat itu? Ya, itu adalah tempat dimana aku dengan setia menunggu cintamu.

Satu lagi. Apa kau tahu tentang Seven Minute to Remember? Saat itu terjadi, kau akan diberi waktu tujuh menit untuk mengingat memori paling penting dalam hidupmu, sebelum kau benar-benar pergi meninggalkan raga dan jiwamu. Kau tahu keadaan itu? Ya, itu adalah saat dimana aku masih setia menunggumu, memikirkanmu, membisikkan alunan merdu bait-bait cinta untukmu, dan mengingatmu. Tidak satupun memori yang terlupakan saat aku bersamamu. Rasanya waktu tujuh menit tidaklah cukup. Mungkin, butuh waktu selamanya untuk mengenang kenangan kita.

Aku duduk di kursi rodaku sambil menghitung menit, kemudian menarik napas dalam-dalam yang rasanya sedikit menyakitkan. Udara dingin di tepi danau indah ini terasa menembus lapisan tebal sweater biru kebesaran yang kukenakan. Uap asap tertiup angin setiap kali aku menghembuskan napas. Walau begitu, aku masih betah disini. Menunggu fajar menyambut pagi.

"Udara sangat dingin, Kirena. Kenapa kau disini?" Suara yang terdengar familiar berbisik disampingku, serta sentuhan hangat yang juga sangat familiar ini membungkus tanganku. Menghantarkan kehangatan dengan kenyamanan yang tiada tara. Yang tidak akan pernah kudapatkan dari orang lain selain darinya.

"Aku ingin melihat matahari terbit." Kubalas sentuhannya dengan jemariku yang pucat, sambil tersenyum dengan senyuman paling tulus yang hanya kutunjukkan untuknya.

"Kau bisa melakukannya di dalam. Di jendela kamar kita, atau di balkon," katanya kemudian membalas senyumanku dengan senyuman yang paling kusuka.

"Aku lebih suka disini, Al." Dia mengangguk mengerti. Tatapannya berkata lain, sekilas sendu terpancar disana. Dia tahu. Dia tahu bahwa ini adalah waktunya. Dia tahu hari adalah saatnya. Kendati begitu, dia tetap menampakkan dirinya seolah baik-baik saja. Ya, kau akan baik-baik saja kan, Al? Kau akan baik-baik saja. Tuhan akan selalu melindungimu. Dia akan selalu ada dalam setiap langkahmu. Aku akan selalu berdoa untuk dirimu.

"Tubuhmu dingin sekali," katanya lagi.

Aku tahu. Aku mengerti, Al.

Kali ini, tatapan sendu itu tidak lagi bisa ia sembunyikan. Terpancar jelas dari kedua matanya yang indah. Mata itulah yang pertama kali menatapku dengan cinta. Mata itulah yang akhirnya mengantarkanku pada pelabuhan terakhirku, yaitu padanya. Aku akan sangat merindukan tatapan ini.

"Udaranya memang dingin." Al tidak bodoh. Dia tahu lebih dari itu, tapi lagi-lagi dia hanya tersenyum manis. Kubalas senyumannya itu dengan segenap hati.

Setelah itu hening. Tatapanku terkunci kearah penghujung Timur. Sedangkan Al tidak kunjung mengalihkan tatapannya dariku. Hal itu tidak membuatku risi. Akan kubiarkan dirinya menatapku lama-lama. Agar dia selalu ingat wajahku. Agar dia selalu mengingatku. Agar dia selalu mengingat segala tentang diriku. Karena aku tidak ingin dilupakan.

Menit berlalu, bulatan kuning terang di ufuk Timur akhirnya menampakkan diri. Sesuatu yang kutunggu sejak tadi. Aku tersenyum. Mengetahui hal ini tidak akan lama. Maka aku terus tersenyum.

"Kenapa kau tersenyum?" Al bersuara lagi. Nadanya terdengar dingin, tapi saat aku menoleh, tatapan serta raut wajahnya berubah sendu. Tidak, bukan itu yang aku inginkan. Bukan tatapan dan raut sendu itu. Tetapi hanya kubalas ucapannya dengan senyuman. Tidak kuasa rasanya untuk terus menatap pria ini. Lantas aku memalingkan muka, menonton burung-burung yang terbang berkelompok nan jauh disana.

Seven Minute to Remember ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang