"Kamu bercanda, ya?"

"Apa aku kedengeran kayak bercanda?" Aku tidak menggubris, dengan mata sebelah kanan, aku melirik bar yang Sammy maksud. Di atas bar itu memang ada ruang kosong, cahaya warna-warni yang seharusnya terang benderang di dekat bar itu agak meredup. "Dia nggak bakal gangguin kamu lagi, kan?"

"Nggak tau—"

Omonganku terhenti tepat pada saat Sandi menendang dengan centil kuntilanak itu. Aku tidak tahu kuntilanak itu telah pergi atau tidak. "Wow. Hantu bencong itu bisa nendang kuntilanak, Vid. Awesome!"

"Iya, awso—" Itu Kak Braga. Di depan pintu masuk Mirasa, celingukan mencari sosokku. Aku tiba-tiba langsung sakit perut karena rasa gugupku sudah menjalar ke seluruh tubuh. "Sa-Sam... bisa nggak ka-kamu keluar dari sudut pandang sa-saya dulu?"

"Emang kenapa? Kamu kok kayak yang nervous gitu, sih?"

"Jangan banyak tanya. Just fucking do it!"

Untungnya Sammy benar-benar melakukannya. Sammy hilang di dalam kepalaku ketika Kak Braga berdiri di depanku. Dan dia juga mengenakan kemeja. Apa ini benar-benar kencan? Kenapa aku tadi tidak mengenakan jaket atau hoodie saja? Mana Sandi? Aku akan mencekiknya sekarang. Dia yang menyuruhku untuk mengenakan kemeja. Dia bilang agar terkesan sopan. Yang jatuhnya malah seperti sedang melakukan pendekatan. Antara aku dan Kak Braga.

"Udah lama?" tanya Kak Braga, tersenyum samar untukku. Jantungku berdetak kencang sekarang.

"Euh, ng-nggak juga. Baru tiga menit." Padahal aku di sini sudah setengah jam. Sandi berdiri di belakang Kak Braga, memeluk cowok itu dengan gelagat manja. Urgh! "Kakak naik apa ke sini?"

"Biasa, naik si merah." Aku menaikkan kedua alisku. No clue. "Motor Vixion andalan saya. Remember?"

"Iya, remember." Tidak, aku tidak ingat sama sekali. Setiap kali aku datang ke ArtEden, Kak Braga sudah ada di sana duluan. Ketika kami pulang, Kak Braga pulang paling terkahir. Jadi aku tidak tahu dia naik apa. Lagian, motor Vixion itu motor jenis apa? Oke, itu tidak penting. "Makasih Kak udah nyanggupin ajakan saya. Saya bener-bener menghargai—"

Kak Braga mengangkat tangannya, menyuruh aku diam. Sandi bertepuk tangan dengan heboh di sebelahku. "Dia selalu ngelakuin itu kalo mau ngeinterupsi orang yang lagi ngomong. Aku jadi kangen sama tingkah dia yang so kewl!"

"Jadi... apa motif asli kamu ngajak saya makan malam, hmmh? Jangan bilang bullshit itu lagi, Vidi. Junior-Senior? Kamu sadar nggak itu kedengeran tolol dan nggak masuk akal?" Kak Braga memajukan badan raksasanya ke dekatku. Aku bisa mencium wangi parfumnya yang memabukan. Seperti JackD. "Kamu gay, kan? Saya pernah lihat kamu sama anak band itu. Vokalis di band itu temen saya."

Fredo? Fuck!

"Kamu deket banget sama cowok itu. Waktu saya bilang deket—" Kak Braga tidak melanjutkan ucapannya. Dia hanya membuat gerakan di jari-jarinya. Memasukkan jempolnya di sela-sela jari telunjuk dan jari tengah. Itu artinya ngentot. "Bener, kan?"

"Kakak nggak suka kalo saya gay?" tanyaku menggunakan nada yang tidak pernah aku ucapkan kepada siapapun selama aku hidup. Kasar dan penuh tekanan. "Ya, saya emang gay. Tapi saya ngundang Kakak ke sini bukan karena saya mau deketin Kakak atau apa. Saya cuma mau ngasih Kakak beberapa pertanyaan aja. Yang saya harap bisa Kakak jawab dengan jujur."

Kak Braga menekuk kecil bibirnya, mungkin mengejek, mungkin menyanggupi. Entah apa. "Saya nggak bilang kalo saya nggak suka kamu gay, Vidi. Karena saya juga gay."

GitakWhere stories live. Discover now