"Kamu udah bikin daftar?"

"Daftar apa?"

"Daftar buat nanyain Raga tentang hal apa aja yang dia suka. Chop-chop! Keluarin kertas kosong, biar aku dikte-in buat kamu. Apa aja yang aku mau tau dari Raga." Sandi melayang ke atas kepalaku. Aku menarik napas lelah, kemudian mengeluarkan kertas HVS yang masih baru. "Oke. Yang pertama warna favoritnya. Terus, penyanyi kesukaannya. Sebelum dia tidur, dia minum susu apa nggak. Kalo suka, sukanya Indomilk atau Ultramilk. Atau malah langsung dari puting aku—"

"Bisa kita fokus sama pertanyaannya aja?"

Sandi terkikik. "Maaf, maaf. Oke, apa buah favoritnya. Lebih milih buah naga yang warna putih atau yang merah."

Aku terus mencatat apa yang Sandi ucapkan. Aku tidak tahu apakah akan bertanya semua hal ini ke Kak Braga. Di setiap pertanyaan yang aku tulis ini pun, aku juga tidak tahu jawabannya. Di ArtEden, aku memang tidak akrab dengan siapapun. Aku bicara dengan mereka, tapi bukan dalam artian mereka jadi teman bicaraku. Aku lebih banyak diam. Mendengarkan orang lain bercengkrama. Kalau aku tidak salah ingat, begitu juga dengan Kak Braga. Sesekali, aku mendapati dia sedang menatapku.

Apa yang barusan saja aku bilang? Tidak. Itu hanya aku saja yang kepedean. Kak Braga tidak mungkin—

"Kok kamu berhenti nulis, sih?" tegur Sandi, membuat pikiranku terlempar kembali ke dunia nyata. "Aku belum selesai tauk. Aku juga mau tau dia lebih suka makan sate kambing apa sate ayam."

"Sori." Aku menggeleng samar, untuk menepis bayangan Kak Braga dari dalam kepalaku. Aku mencoba mendengarkan dengan baik pertanyaan-pertanyaan yang Sandi buat untuk Kak Braga. Ini sudah pertanyaan yang ke dua puluh enam. Aku benar-benar tidak tahu pertanyaan ini akan sampai nomor berapa. Aku saja tidak yakin apakah aku bisa menanyakan semua ini ke Kak Braga. Dia pasti akan curiga kalau aku bertanya banyak tentang dirinya. "Ini udah banyak, San. Cukup, ya?"

"Nggak, lah! Aku juga penasaran... dia lebih suka pakek Biore apa Garnier. Parfum yang dia suka apa. Masih banyak tauk. Masa setengah-setengah."

"Bukan begitu, kalopun kamu lanjutin, yang saya tanya nggak bakal semuanya. Nggak semuanya dalam artian malam ini. Saya pasti akan delay pertanyaannya karena ini kebanyakan. Saya nggak mau dicap kepo sama Kak Braga, ya. Apalagi sampai dicap stalker. Kayak saya naksir dia gitu. Ogah!"

"Iya, iya. Kamu bawel banget deh. Terakhir nih: kalo ngentot suka pakek kondom nggak."

***

Tidak!

Aku tidak akan bertanya soal yang terakhir itu. Tentang kondom. Anehnya, meski Sandi melarang keras aku naksir sama Kak Braga, dia yang malah memilihkan aku baju untuk makan malam ini. Selama aku hidup, baru dua kali aku mengenakan kemeja. Yang pertama saat pemakaman Ibu. Dan yang kedua adalah saat prom night waktu SMA. Semua kemejaku berwarna hitam, itu warna favoritku. Netral. Setiap warna yang dicampur dengan warna hitam, warna-warna itu akan berubah menjadi hitam pekat.

Ini masih jam tujuh, tetapi aku telah duduk di salah satu bangku yang ada di Mirasa. Meremas-remas gulungan lengan kiri kemejaku. Aku gugup. Aku tidak tahu kenapa aku bisa segugup ini. Maksudku, ketika aku mengajak Kak Braga makan malam—dan memang terdengar seperti ajakan kencan—aku sama sekali tidak malu dan canggung. Sekarang... barulah aku merasakan kedua hal itu.

Oh, sama gugup. Aku ingin pulang saja.

"Pulang ke mana?"

Dia selalu muncul saat aku tidak membutuhkannya. "Saya lagi nggak mood bicara sama kamu, Sam."

"Kenapa?" tanyanya. Aku tidak menjawab, menutup mulutku rapat-rapat agar tidak memberitahu Sammy kalau aku akan makan malam dengan Kak Braga. Kenapa aku berlebihan seperti ini? "Aku juga cuma mau bilang, kuntilanak itu ada di atas bar sana. Lagi nyanyi lagu daerah sambil ngasih kamu kiss."

GitakWhere stories live. Discover now