2

22.5K 2K 56
                                    

Sepanjang perjalanan hingga tempat tinggalku, aku hanya diam walau aku tahu Ghenzo memperhatikanku. Kuabaikan dia yang mengikuti langkahku bahkan berusaha mengambil alih koperku.

"Nggak mempersilahkan aku masuk?"

"Aku nggak merasa mengundangmu."

"Beri aku satu kesempatan lagi."

"Kesempatan untuk apa?"

"Kesempatan untuk jadi suamimu."

"Aku nggak berniat menikah, apalagi denganmu. Aku sudah tak punya muka lagi dengan mamamu. Harusnya kamu memberitahuku dari dulu. Jadi aku tak akan berinteraksi denganmu atau keluargamu. Cukup jelas kan?"

Bukan aku membenci mamanya, aku hanya malu. Ternyata dia mengetahui kelakuanku yang buruk dengan anaknya. Siapa yang sudi punya menantu sepertiku? Aku sadar diri.

"Please beri aku kesempatan," pintanya menghalangi aku menutup pintu.

"Terserah padamu, tapi aku tak berniat menikah atau dekat lagi denganmu."

Lebih baik sendiri tanpa perasaan canggung, malu, tak percaya diri, dan yang lainnya. Kututup pintu paksa tapi yang ada aku terpental ke belakang karena dorongan Ghenzo yang kuat.

"Maumu apa sih?" teriakku yang sudah tak bisa sabarkan diri.

"Aku cuma mau aku kamu jadi kita."

Aku hanya bisa menghela nafas lelah. Kupandangi dia yang begitu gigih memaksaku.

"15 tahun itu bukan waktu yang singkat. Bahkan aku sudah melupakanmu, jadi kamu tahu jawabannya kan? Jangan paksa aku lagi. Jadi lupain ajalah."

"Jangan juga memaksaku untuk melupakanmu. Karena itu nggak akan pernah terjadi," balasnya menatapku tajam.

Dia pikir aku akan takut, mau tatapannya setajam apapun aku tak kan gentar. Aku sudah membulatkan. tekad untuk tak lagi berhubungan dengannya.

***

Kupikir aku akan terbebas darinya setelah dia pulang tanpa aku usir. Tapi nyatanya Ghenzo sudah di depan pintu dengan pakaian lengkap khas musim dingin. Saat ini memang sedang turun salju, aku pun memakai super lengkap dan penutup telinga. Dia terlihat kedinginan tapi apa peduliku.

Aku hanya memandangnya sekilas lalu melangkah melewatinya. Tak ada sapaan ramah atau senyum untuknya. Aku sudah mulai terusik dengan kehadirannya walaupun dia juga hanya diam mengikuti ke mana aku pergi. Dia mengikutiku sampai studio tempatku bekerja. Tapi aku tetap mengabaikannya seolah aku memang tak mengenalnya.

"Pagi Vey. Apa pria itu bersamamu?" tanya Christin bagian resepsionis yang setia menyapa semua karyawan mengarah pandangannya pada Ghenzo.

"Bukan," jawabku seringan mungkin lalu menaikki tangga menuju ruanganku.

Studio tempatku bekerja bukanlah di gedung bertingkat puluhan. Aku berkerja di salah satu studio milik sahabatku yang dirintis oleh kami dari nol. Tempat di mana semua orang bisa bebas mengekspresikan keinginannya terhadap suatu bangunan atau sebuah ruangan agar terlihat lebih menarik. Aku bekerja sebagai salah satu desainer interior dan juga terkadang jadi tukang perabotan yang membuat perabotan dari kayu sendiri. Sendiri di sini berarti membuat sebuah berabotan misal kursi sendiri. Dari mencari bahan sampai jadi sebuah kursi kayu yang bernilai seni.

Mendeskripsikan pekerjaanku sampai lupa tentang Ghenzo. Dia masih setia duduk di sofa tamu tanpa malu seharian di sana sampai makan siang tiba barulah dia bangkit dan mengajakku makan siang. Kenapa dia tak segigih ini dulu? Sekarang bahkan aku malas bertemu dengannya.

Anti Wedding PartyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang