Chapter 8

46.6K 5.6K 226
                                    

Hi, Ras.

Gw udh ketemu Leo kemarin. Sehat kok dia. Gak knp2. Emg dia msh belum hub lo? I told him kalo lo kesulitan telp dia. Dia bilang, nanti dia akan hub lo. HPnya emg lg sering eror, katanya.

Kubaca berulang-ulang pesan dari Ernest, salah satu teman Leo di US. Aku lega, karena ada saksi mata yang melihat Leo masih hidup dan baik-baik saja. Aku heran, kalau Leo baik-baik saja, kenapa dia tidak bisa dihubungi? Dan aku marah, karena sadar kalau pesan itu kuterima hampir lima hari yang lalu! Yang artinya, Leo tahu aku mau gila mencarinya, dan dia tidak menghubungiku sama sekali! Brengsek lah!

Oke, ponselnya rusak. Tapi memangnya komunikasi Cuma bisa via ponsel? Dia kan bisa mengirimkan Whatsapp via laptop! Dan kalau dia tidak mau pinjam ponsel temennya, dia kan bisa kirim email?! Banyak yang bisa dia lakukan untuk mengabariku bahwa dia masih hidup. Itu kalau dia memang mau.

Jadi ini artinya Leo memang tidak mau memberiku kabar?

Kalau ditotal-total, sudah hampir sebulan komunikasiku dengan Leo tak jelas begini. Apa sebagai cewek, kesabaranku tidak di luar batas? Apa dia tidak tahu aku juga bisa kangen? Apa dia tidak tahu etikanya menjalin hubungan dengan seseorang? Apa dia tidak tahu kalau menjalin hubungan dengan seseorang itu berarti dia harus, minimal, membiarkan orang itu tahu bahwa dia masih hidup dan baik-baik saja? Kalau memang dia keberatan, kenapa dia tidak pacaran dengan KUHP kesayangannya itu?!

Jadi benar, Leo ini sedang menghindariku. Tapi kenapa? Apa salahku? Bukankah kami sudah baikan sejak permasalahan yang terakhir? Atau aku bikin salah lagi tanpa kusadari? Soal apa? Atau jangan-jangan, Leo memang sudah lelah dengan segala tingkahku yang semau sendiri dan tidak bisa diatur? Apa tiba-tiba Leo menyadari bahwa tingkat intelektualitasku tidak pantas bersanding dengan tingkat intelektualitasnya? Apa jangan-jangan Leo menemukan seseorang di sana yang membuatnya sadar bahwa dia hanya buang-buang waktu saja selama ini denganku? AH SIALAN LAH!

"Do you have bad hair day atau semacamnya?"

Aku mendongak. Bersamaan dengan itu, pipiku terantuk benda dingin dan berair, yang jelas-jelas dia sodorkan tepat beberapa senti dari pipiku.

"Apa nih?" Tanyaku.

"Lo nggak tahu? Itu yang namanya es krim, Saras." Jawab Mahesa, yang langsung ambil tempat di sebelahku. "Kenapa? Lo garuk-garuk kepala udah kayak orang setahun nggak keramas."

Aku menghela napas. Dan membuka bungkus es krim vanilla pemberian Mahesa. "Lo tahu Baskin Robbins?" Tanyaku.

"Yap. Kenapa?"

"Itu es krim favorit gue."

"Oh. Lalu?"

"Mungkin besok-besok lo mau beliin gue es krim lagi."

Kedua orang tuaku, Panji, Leo, dan Kak Riza tahu bahwa es krim adalah peredam emosi terbaik untukku. Aku mudah memaafkan kesalahan seseorang asalkan dia membawa persembahan berupa es krim Baskin Robbins favoritku.

"Thank you, anyway." Kataku buru-buru.

"You're welcome." Jawab Mahesa sambil lalu. "Gimana? Udah berapa halaman?"

"Dua." Jawabku, sibuk menjilati es krim yang menetes ke jari-jariku. Mahesa menatapku dengan ekspresi jijik. Yang jadinya malah terlihat sebagai ekspresi geli.

"Jorok banget sih lo!" Ledeknya, mengambil tisu dari meja dan menempelkannya ke wajahku. Benar-benar ke wajahku. Maksudnya, bukannya mengusap lelehan-lelehan es krim ke sekeliling bibirku seperti adegan romantis di film Korea, Mehesa malah membuka tisu lebar-lebar dan melemparkannya menutupi seluruh wajahku.

BEST OF US - TERBIT CETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang