Terusan ADBM Jilid 397

19.9K 107 10
                                    

Jilid 397

NAMUN mereka segera menyadari apa yang sebenarnya sedang terjadi ketika orang yang rambutnya sudah ubanan itu meloncat mundur sambil mencabut senjatanya, sebuah golok yang berukuran cukup besar.

"He, kalian orang orang bodoh, apakah kalian menikmati permainan ini," teriaknya sambil meloncat maju menebaskan goloknya mengarah leher Rara Wulan, "cepat bantu kami menangkap perempuan iblis ini, ternyata selama ini dia telah mengelabui kita. Dia tentu telik sandi yang dikirim oleh orang orang Mataram."

Bagaikan terbangun dari sebuah mimpi buruk, para pengikut Pangeran Ranapati pun segera berloncatan menebar mengepung Rara Wulan sambil mencabut senjata masing masing. Ada yang bersenjatakan sepasang pedang pendek, tombak bermata dua, bahkan ada yang bersenjatakan seutas rantai baja yang pada ujungnya dikaitkan sebuah bandul berupa bola baja berduri yang mengerikan.

Sejenak Rara Wulan berdiri termangu mangu di tengah tengah kepungan para pengikut Pangeran Ranapati. Diedarkan pandangan matanya menyapu seluruh lawan lawan yang mengelilinginya.

"Lima belas orang," desisnya dalam hati.

Dengan penuh percaya diri, segera saja Rara Wulan mengurai selendangnya.

"Gila", geram orang yang rambutnya sudah ubanan, "kau kira kami akan menari janggrung bersamamu, nduk? Tidakkah kau sadari bahwa senjata senjata kami akan dapat melumat tubuhmu, sementara kau hanya mengandalkan selendangmu? Kau tidak akan bertahan lebih dari sepenginang, nduk."

"Menyerahlah, anak manis," seorang yang masih terhitung muda dan berkumis tipis maju selangkah sambil mengacukan tombak pendek yang ujungnya bercabang dua kearah dada Rara Wulan, "Kami akan mengampuni selembar nyawamu, asalkan kau tidak banyak tingkah dan bersedia melayani kami dengan baik."

Rara Wulan tidak menjawab. Dia sudah benar benar muak menghadapi tingkah polah para pengikut Pangeran Ranapati. Segera saja diputar selendangnya diatas kepala dengan disertai pengerahan tenaga cadangan. Akibatnya benar benar luar biasa, gaung yang keras disertai dengan udara yang berputar terasa menggetarkan setiap dada orang orang yang mengepungnya, bahkan Glagah Putih yang bersembunyi tidak jauh dari arena perkelahian itupun merasakan getarannya.

"Luar biasa," kata Glagah Putih dalam hati, "agaknya Rara Wulan sudah tidak dapat menahan hatinya lagi untuk menghabisi lawan lawannya."

Rara Wulan tidak menunggu lawan lawannya menyadari keadaannya karena pengaruh putaran selendangnya. Dengan sebuah loncatan panjang, Rara Wulan justru menyerang lawan yang berdiri tidak jauh di sebelah kanannya. Sebuah hentakan kuat dari ujung selendangnya berhasil menghentak dada orang tersebut. Sebuah umpatan kotor demikian saja terlontar dari mulutnya. Sambil mendekap dadanya yang serasa tertimpa sebongkah batu padas, dia terhuyung huyung beberapa langkah kebelakang. Namun ketahanan tubuh orang itu ternyata tidak begitu kuat. Dengan keluhan tertahan, akhirnya orang itupun jatuh terlentang, pingsan.

Para pengikut Pangeran Ranapati yang lain pun terkejut ketika melihat salah seorang kawannya dengan begitu mudah dilumpuhkan oleh Rara Wulan. Dengan teriakan kemarahan yang menggelegar, mereka pun segera menyerang Rara Wulan dari segala arah.

Rara Wulan menyadari bahwa dia harus berpacu dengan waktu. Semakin cepat dia mengurangi jumlah lawan lawannya, akan semakin berkurang pula tekanan yang dialaminya.

Sejenak kemudian, Rara Wulan pun semakin mempercepat serangannya. Ujung Selendangnya serasa semakin dekat dengan kulit para pengikut Pangeran Ranapati yang mengeroyoknya.

Demikianlah, akhirnya sekali lagi terdengar keluhan tertahan disertai dengan sebuah umpatan yang sangat kotor ketika ujung selendang Rara Wulan kembali menggores lambung salah satu lawannya. Sebuah sabetan mendatar mengarah dada tidak mampu dielakkan walaupun lawannya sudah berusaha menghindar dengan melompat ke samping, namun ujung selendang Rara Wulan masih sempat melukai lambungnya. Walaupun goresan itu tidak terlampau dalam, namun karena tempat yang terkena goresan adalah bagian tubuh yang lemah, darah pun segera terpancar dari luka yang menganga.

Terusan Api Di Bukit MenorehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang