Terusan ADBM Jilid 399

9.1K 59 3
                                    

Jilid 399

Orang yang berkumis dan berjambang lebat itu hanya mengangguk anggukkan kepalanya tanpa berkata sepatah katapun. Sambil mulutnya masih sibuk mengunyah juadah, tangan kanannya menerima semangkok dawet jabung dari pelayan kedai, seorang perempuan muda yang berwajah cerah.

Baru saja pelayan itu memutar tubuhnya, tiba tiba saja sebuah jerit kecil keluar dari mulutnya yang mungil ketika sebuah remasan yang sangat kurang ajar terasa di pantatnya, sementara orang yang berkumis dan berjambang lebat itu hanya tertawa terkekeh kekeh.

Sambil bersungut sungut pelayan itu pun setengah berlari segera kembali ke dapur. Sedangkan orang orang yang ada di dalam kedai itu hanya dapat saling berpandangan satu sama lainnya, bahkan ada yang tersenyum senyum sambil mengedipkan sebelah matanya ke arah orang yang duduk di sebelahnya.

Sekejap Ki Rangga Agung Sedayu terperanjat, namun segera saja dikuasainya debar jantung di rongga dadanya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi seandainya saja Rara Wulan hadir di tempat itu.

Dengan tenangnya seolah olah tidak ada kejadian apa apa, orang yang berkumis dan berjambang lebat itu menyeruput dawet jabungnya, sambil mengusap kumisnya yang menjadi basah terkena dawet, dia berkata, "He, Ki Sanak, apakah engkau pernah mengikatkan dirimu pada seorang perempuan seumur hidupmu? Sungguh engkau akan sangat merugi kalau memutuskan berbuat demikian. Dunia ini sangat luas dan banyak perempuan perempuan cantik yang bisa mengisi kekosongan hati laki laki, kapanpun kita mau, jadi untuk apa seorang laki laki harus terikat seumur hidupnya dengan perempuan yang sama? Padahal hidup ini menyenangkan dan perlu kita nikmati sepuas puasnya."

Ki Rangga Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam sambil menggeleng lemah, "Aku tidak sejalan dengan pikiran Ki Sanak, segala sesuatu yang telah diciptakan oleh Yang Maha Agung di atas dunia ini pasti ada tatanannya. Aturan aturan itu dibuat agar tidak ada ketersinggungan atas satu sama lainnya yang sama sama mempunyai kepentingan. Sesungguhnya pengingkaran atas tatanan yang telah dibuat itu hanya akan merusak sendi sendi hidup bebrayan dan melanggar kebebasan orang lain untuk menentukan pilihannya."

Orang yang berkumis dan berjambang lebat itu mengangkat kepalanya. Sejenak dipandanginya wajah Ki Rangga Agung Sedayu dengan terheran heran, kemudian katanya sambil menggeram, "Persetan dengan sesorahmu. Bagiku hidup ini adalah kebebasan mutlak. Barang siapa yang bisa menciptakan kebebasan mutlak itu, dia berhak mendapatkan imbalan yang setimpal. Hanya orang orang cengenglah yang berlindung dibalik tatanan dan aturan aturan yang bagiku sama sekali tidak berguna. Kalau kita ingin mendapatkan sesuatu, berjuanglah dengan kekuatan kita, kalau perlu kita harus membunuh dan merampas. Seandainya ada kekuatan lain yang melebihi kekuatan kita, itulah batas akhir dari sebuah perjuangan, mukti atau sekalian mati."

Sebelum Ki Rangga Agung Sedayu sempat menjawab, seorang yang berperawakan pendek dan kekar, dengan wajah yang lebar dan kumis jarang jarang tampak melangkahi tlundak pintu kedai sambil tertawa, "He, disini kau rupanya, Kakang Soma, aku kira sudah berangkat ke puncak Genthong mengawal Junjungan kita."

"Belum, Adi Brujul," jawab orang yang berkumis dan berjambang lebat yang dipanggil Soma itu sambil melirik penuh kebanggaan kearah Ki Rangga Agung Sedayu, "Tiga hari lagi aku berangkat. Kali ini aku akan mempergunakan waktuku sebaik baiknya, tidak seperti waktu terakhir aku mengawal Junjungan kita. Akan aku gunakan waktuku untuk meningkatkan ilmu sesuai dengan petunjuk yang telah diberikan oleh Junjungan kita."

Orang yang dipanggil Brujul itu mengangguk anggukkan kepalanya sambil meraih sebuah dingklik di dekatnya kemudian membawanya ke dekat meja Ki Rangga Agung Sedayu.

"Apa yang telah engkau dapatkan waktu di Toyomerta beberapa saat yang lalu?" bertanya Soma sambil mengambil sepotong rempeyek wader.

Sejenak Brujul membetulkan letak duduknya sebelum menjawab pertanyaan Soma. Sambil sekilas memandang Ki Rangga Agung Sedayu, dia menjawab, "Tidak banyak Kakang, jalan ke pancuran Toyomerta sangat sulit dan terjal. Sesampainya di sana aku dan Kakang Sumput kelelahan. Jadi selama tiga hari disana, kami berdua hanya duduk duduk saja beristirahat sambil menghabiskan waktu."

Terusan Api Di Bukit MenorehWhere stories live. Discover now