Terusan ADBM Jilid 399

Mulai dari awal
                                    

"Ah, macam kau," umpat Soma, "Seharusnya setiap ada kesempatan mengawal Junjungan kita, harus kita manfaatkan sebaik baiknya untuk meningkatkan ilmu. Selama ini Junjungan kita tidak keberatan untuk memberikan petunjuk petunjuk sehubungan dengan ilmu yang telah kita kuasai, namun justru kitalah yang malas untuk maju."

Brujul hanya dapat mengangkat alisnya mendapat tegoran dari Soma. Kemudian katanya sambil memandang Ki Rangga Agung Sedayu, "Siapakah Ki Sanak ini, kakang Soma? Apakah sahabatmu atau masih ada hubungan keluarga?"

"O., tidak Ki Sanak," dengan cepat Ki Rangga Agung Sedayu menjawab, "Kebetulan saja kami duduk semeja. Aku sudah cukup lama di sini dan sebaiknya aku melanjutkan perjalananku."

Soma dan Brujul hampir serentak bertanya, "Akan kemanakah Ki Sanak?"

"Ke Kademangan Jenangan mengunjungi sanak kadang istriku yang akan mempunyai hajad mengawinkan anaknya."

"Satu lagi contoh kebodohan laki laki yang mau saja menghabiskan hidupnya untuk menghamba pada seorang perempuan." Desis Soma perlahan sambil mengambil satu tusuk rempela dan hati ayam yang di balut dengan usus dan digoreng.

"Ah," Brujul berdesah mendengar desis Soma, "Itu haknya Kakang, kalau aku memang dari dulu tidak tertarik dengan yang namanya perempuan, aku lebih tertarik dengan sabuk yang bertimang emas dan bertretes berlian atau sebuah keris yang indah dengan gagang yang bertabur berlian serta wangka yang berselut emas."

"Jangan sombong," geram Soma, "Tepatnya bukan engkau yang tidak tertarik dengan perempuan, tapi perempuan mana yang mau dengan orang macam kau."

Brujul hanya tersenyum masam mendengar makian Soma. Dia menyadari bahwa Soma memang termasuk laki laki yang suka main perempuan, tidak peduli apakah perempuan itu sudah bersuami atau masih gadis, perempuan baik baik atau bahkan perempuan yang dapat diambilnya dari kedai kedai yang memang menyediakan perempuan perempuan murahan untuk para lelaki hidung belang.

Ki Rangga Agung Sedayu segera menyadari bahwa pembicaraan itu dapat berkisar ke mana saja dan mungkin dapat menyulitkan keadaannya, maka dengan perlahan dia berdiri sambil membetulkan letak kain panjangnya, kemudian katanya, "Aku mohon pamit Ki Sanak. Mumpung hari masih siang sehingga aku tidak kemalaman sampai di kademangan Jenangan."

Soma dan Brujul saling berpandangan sejenak. Di mata mereka ujud Ki Rangga Agung Sedayu memang tidak begitu menarik perhatian, selain ujud orang kebanyakan yang sedang melakukan perjalanan.

"Silahkan," Soma lah yang menjawab acuh tak acuh.

Ketika kemudian Ki Rangga Agung Sedayu bergeser dari tempat duduknya menghampiri meja tempat pemilik kedai menerima pembayaran dari para pembeli, dia masih sempat mendengar Brujul bertanya, "Kakang akan menempuh jalan mana? Lewat kademangan Siman atau kademangan Jetis?"

"Sebenarnya aku lebih senang lewat Siman, kademangan yang cukup besar dan ramai. Namun seperti biasanya, Junjungan kita ini senang tempat tempat yang sepi, lewat kademangan Jetis yang kecil kemudian menembus hutan lebat di sisi selatan Kademangan Sambit yang tidak lebih ramai dari kademangan Jetis. Kita akan mendaki Gunung Bayangkaki dari sisi barat."

Ki Rangga Agung Sedayu tersenyum sekilas. Tiga hari lagi Ki Singa Wana Sepuh akan berangkat ke Gunung Bayangkaki melalui sisi barat dan dia harus tiba di sana lebih dahulu agar dapat melaksanakan pengamatan dengan seksama.

Malam harinya, Ki Rangga Agung Sedayu memerlukan untuk menemui Glagah Putih dan Rara Wulan di rumah yang selama ini di tempati oleh Ki Madyasta. Agar tidak menarik perhatian dan mengurangi kemungkinan adanya kecurigaan dari para telik sandi Kadipaten Panaraga yang mungkin tersebar di tempat itu, Ki Rangga Agung Sedayu justru mendekati rumah itu menjelang tengah malam. Dengan kemampuannya yang tinggi untuk menyerap segala bunyi dari sekitarnya serta gerakan yang bagaikan secepat kilat, Ki Rangga Agung Sedayu telah mendekati rumah itu dengan tidak melalui jalan yang sebenarnya, akan tetapi justru melewati beberapa pekarangan dan halaman belakang dari rumah rumah di sekitarnya. Kemudian dengan sebuah isyarat ketukan di pintu butulan sebagaimana yang telah mereka sepakati, Ki Rangga pun kemudian telah bergabung dengan mereka di ruang tengah.

Terusan Api Di Bukit MenorehTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang