PROLOG

166K 9.7K 185
                                    

Hai hai, haloooo. Apa kabaar?

Setelah semedi sekian lama, dan mengumbar janji-janji palsu entah berapa kali (maafkan diriku yang PHP ini), akhirnya aku bisa juga mulai posting sekuel Love-Hate Relationship! Yeeaaayyy!

Biar nggak pada bingung, ada beberapa hal yang kuubah dari seri LHR pertama. Nama Randy Atma kuubah menjadi Jerro Atma. Lalu dulu di LHR aku bilang Leo kuliah di Northwestern University di Belanda. Maafkan kekhilafanku yang parah banget ini. Hahaha mana ada NU di Belanda. Northwestern University itu di Amerika, bukan di Belanda. Hehehe. Jadi intinya, Leo pergi ke Amerika, bukan Belanda. Terus nama lengkap Leo dan Saras aku ubah juga. Terus...apa lagi ya? Ya pokoknya kalau ada yang berbeda info dari LHR, berarti sudah mengalami penyesuaian dengan LHR versi revisied yah. Tapi sepertinya nggak akan bikin bingung kok.

Seperti biasa, aku mengharap dengan sangat partisipasi kalian untuk mengkritik, membantai, memberi saran, dan mengoreksi hal-hal yang ganjil dari cerita ini (misal: ih, kok karakter Saras dan Leo melenceng sih dari LHR). Pokoknya kritik dan saran ditunggu banget. Maklum, baru draft 1. Aku butuh 1001 saran untuk memperbaikinya lagi.

Udah ah, kepanjangan nanti jadi essay lagi.

So, hello again, Saras-Leo!

***

"Kamu katanya udah punya pacar? Kok nggak pernah dibawa pacarnya? Bohong ya?"

Ada untungnya aku senam muka setiap hari dengan menonton Mr. Bean. Jadi aku nggak punya kesulitan untuk menarik pipi dan membuat senyum palsu. Atau, ada untungnya juga aku sering pura-pura mengerti saat sedang di kelas. Bakat aktingku terasah, dan Omaku tercinta yang menyebalkan ini jadi nggak tahu kalau sebenarnya aku sedang memasang senyum palsu.

"Iya, bohong, Oma. Biar nggak ditanyain melulu sama Ayah dan Ibu." Jawabku asal.

"Terus, Leo-leo yang sering diomongin Ayah dan Ibumu itu siapa?"

"Hah? Leo siapa? Oh, Bang Leo? Dia sih dosen Saras di kampus. Orangnya nyebelin. Minta banget dikirim ke masa lalu, Oma."

"Ini anak ya!" Tiba-tiba Ayah yang entah muncul dari mana menoyor kepalaku dari samping. "Setiap perkataan adalah doa."

"Aku tiap hari bilang pengin jadi fotografer terkenal kok nggak jadi-jadi juga?" Protesku.

Ayah hanya tertawa lebar, dan kembali meninggalkan aku dengan Oma yang masih menyidangku, seperti yang selalu ia lakukan minimal setahun sekali.

"Kamu segera cari pacar dong, Saras. Biar bisa kayak Ranti dan Dimas itu."

Aku mengkuti arah kedikan dagu Oma. Di taman samping, tempat perta barbeque keluargaku besarku diadakan, kedua sepupuku itu sedang asyik ngobrol dengan pasangannya masing-masing. Ah ya, bagi Omaku, keberhasilan seseorang ditentukan apakah dia sudah membawa pasangan di acara keluarga atau belum. Dan aku yang tidak pernah membawa pasangan, bahkan seringnya absen datang ke acara keluarga karena malas, jelas dianggap paling gagal. Tapi kalau kupikir-pikir, di acara keluarga dua bulan yang lalu, bukan cowok itu yang dibawa Ranti.

"Sebentar lagi kan kamu juga wisuda. Masa nggak mau ada pendampingnya?"

"Oh, tenang aja, Oma." Jawabku buru-buru. "Kalau wisuda aku kan maunya private celebration gitu. Jadi cuma aku, Ayah Ibu, dan Tuhan yang ngerayain. Lebih sakral."

Oma memasang ekspresi yang ambigu. Antara ingin ketawa tapi malu, mau marah tapi lucu. Ah entahlah. Aku harus segera mengundurkan diri dari acara tak berguna ini.

Beralasan ingin ke toilet, aku buru-buru melepaskan diri dari Oma. Daripada terus dicecar soal pacar yang tak mungkin bisa kujawab, lebih baik aku numpang tidur di kamar Rosma. Kakak sepupuku yang tiga tahun lebih tua daripada aku.

"Pasti dikejar-kejar suruh nikah?" Tebak Rosma saat aku masuk ke kamarnya.

"Ha-ha." Aku tertawa maklum. "Numpang tidur ya. Enak banget lo ngumpet di sini melulu? Keluar dong, hadapilah dunia yang kejam ini."

Rosma tertawa lebar dan melemparkan bantal ke wajahku. Bukan rahasia umum kalau acara-acara keluarga semacam ini adalah siksaan maha berat bagi kaum-kaum single dan jomblo. Seperti kami. Single atau jomblo? Ah, kurasa tak ada bedanya. Ke mana-mana juga sendirian.

"Lo kan udah punya pacar. Leo ya? Kata Tante, dia lagi di US?"

"Hmm..."

"Gue selalu kagum dan salut pada orang-orang yang bisa menjalani LDR dan baik-baik saja."

"Kenapa gitu?"

"Yaaa...karena," Rosma menggaruk kepala. "Cobaan LDR nggak bisa ditanggung oleh orang-orang yang lemah imannya macam gue."

Aku mengangkat sebelah alis.

"Gini," Rosma memperbaiki duduknya. "Lo dan Leo kan beda waktu hampir seharian. Di sini pagi, di sana malam. Di sini tengah malam, di sana, Leo lagi asyik-asyiknya beraktivitas. Misal aja nih, Leo lagi suntuk dan butuh teman curhat. Mau ngobrol sama lo, tapi lo nya kan lagi tidur. Terus dia nyari teman curhat lain. Terus, terus, ya gitu deh."

Masa sih?

"Lo juga sama. Di sini kan status lo nggak jelas. Dibilang punya pacar ke mana-mana juga sendiri. Dibilang jomblo, lo punya pacar. Nggak jelas gitu. Kalau ada kondangan atau acara-acara apa gitu, lo nggak bisa ngajak cowok lain karena lo punya pacar. Tapi sedih nggak sih lo ke mana-mana sendirian, padahal sebenarnya lo punya pacar? Terus buat apa kalau begitu punya pacar, toh kalau ada apa-apa, lo tetap aja sendirian?"

Sial. Rosma ini ngomong apa? Kenapa kalimatnya pernyataan semua? Benar lagi.

"Ras? Heloooo...lo kok..." Rosma tertawa kecil. "lo kenapa jadi galau gitu?"

Aku berjengit. Kuusap wajahku perlahan. "Gue nggak pernah memikirkan itu semua."

"Bagus. Dari sekarang, mulailah berpikir ke sana."

Brengsek. Kenapa aku punya sepupu seperti Rosma ini sih?

***

BEST OF US - TERBIT CETAKTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang