Lamaran

2.9K 156 16
                                    

Maaf untuk keterlambatan upload part ini. Ada berbagai hal yang mengiringi kelahiran part ini, salah satunya flash disk tempat menyimpan seluruh file bahkan hingga part 11 konslet  pasca saya pakai untuk minta file ke salah satu panitia BIMTEK yang saya ikuti. Sedih, tapi nggak bisa ngapa-ngapain lagi.  Yang jelas, file yang ini lebih baik menurut saya daripada file yang hilang. Syukurlah..he..he..

Kita jadi lama tidak bersua, karena itu di sini, sekaligus saya ucapkan selamat sudah melewati Ramadhan,  Selamat sudah berhari Raya dan semoga amal ibadah kita diterima di sisiNya. Amiin..

Maaf juga atas tidak terbalasnya koment satu-satu tapi semua insyallah saya baca dan menambah semangat saya buat  terus menulis. Semoga bermanfaat!!

Love U all.

“Aku nggak mungkin bisa nerima ini bang.”jawabku pelan. Kuamati wajahnya, berusaha mengenali ekspresi yang muncul di sana.  Tak terbaca, namun tak pula kudengar nada bergurau dalam suaranya.

            Aku sama sekali tidak bisa memahami mengapa sampai terlontar semua kata-kata yang diucapkannya tadi. Lagipula, aku tak mungkin aku melakukan apa yang harus aku lewati jika menerimanya. Aku tidak mau ada hati lain yang terluka. Mbak Nadia.

            Kudengar helaan nafasnya yang berat.

            “Jadi, aku terlambat ya?”keluhnya pelan. Ini sama sekali seperti bukan dia yang biasanya.

            “Maksudnya?”tanyaku sambil memicing ke arahnya. Beberapa meter di depan kami  yang sedang duduk di teras belakang, Mboh Harini nampak sibuk memindahkan gula ke dalam wadah-wadah. Ada yang biasa ada di kantor mama, di dapur, dan di dapur catering serta catering kit mama.

            “Rasanya informasi yang aku terima bahwa kemungkinan besar kamu bakalan bisa menerima aku sebagai suamimu cukup sahih. Tidak hanya satu sumber pula. Maka, kalau ternyata kamu menolak pasti alasan itu muncul belakangan ini kan? Ini pasti karena Pandu ya?”tanyanya lagi.  

Pandu? Kok jadi Pandu sih. Aku dan dia memang semakin intens ketemu akhir-akhir ini. Bukan saja karena proyek-proyeknya tapi juga karena dia membutuhkan aku untuk membantu sebagian kecil dari misi besar masa depannya.

“Kamu…emh..aku yakin banget tidak ada alasan lain selain itu. Dia juga bermaksud melamarmu ya?”

Ha?

 “Pandu?”tanyaku memastikan. Dia mengangguk.

Aneh. Kesimpulan yang aneh. Ambil kesimpulan dari mana itu? Kalau aku menolak semua ini justru karena kepentingan dia kan? Aku nggak yakin  persahabatan mereka akan lanjut kalau sampai Haikal meninggalkan Nadia dan malah meminangku. Lagipula, selama ini aku sudah mulai belajar menerima Nadia sebagai kakak iparku.

“Kok bisa Pandu sih?, dia memang sedang dalam  misi lamaran tapi jelas bukan aku lah. Aku justru menjadi katalisator buat mereka. Seza masih saja bimbang…”

“Hah? Jadi bukan Pandu? Jadi kamu benar-benar nggak punya alasan lain untuk menolak karena aku sudah tanya ke semua orang bahwa satu-satunya kemungkinan laki-laki yang sedang dekat sama kamu kan cuma Panji. “suaranya berubah semangat. Aku jadi semakin heran dengan sikap Haikal.

“OK. Kalau gitu nanti malam aku lamar kamu langsung ke ayah. Aku sudah konsul ke ahlinya. Aku harus melamarmu ke ayah meskipun nanti yang menikahkan adalah wali hakim. Kedudukan ayah sebagai walimu sekarang ini bukan berarti memberinya hak untuk menikahkan kita.”cerocosnya sambil tersenyum lebar. Dia segera beranjak sebelum aku berteriak keras.

RedefinisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang