Holding Your Hand

7.9K 449 45
                                    

Aku menangis dan terus berlari. Aku mengikuti langkah kakiku yang membawa tubuh ini. Tak peduli seberapa jauh itu. Aku tak menghitung seberapa lama aku berlari. Dan entah mengapa kaki ku terasa pegal. Apa-apaan ini? Kenapa kaki ku bisa terasa pegal seperti ini?

Hingga,

Bruk

Aku jatuh tersungkur ke tanah dengan wajah basah karena air mata. Lututku terluka dan sedikit mengeluarkan darah.

Aku meraung semakin keras ketika aku sedikit merasakan perih pada lututku. Sialnya lagi, aku terjatuh diantara kerumunan yang cukup ramai. Semua mata menatap kearahku dengan berbagai ekspresi. Beberapa dari mereka pun menawarkan bantuan padaku. Namun, aku menolaknya.

Aku hanya ingin menangis seperti ini dan membiarkan luka ku menutup dengan sendirinya. Ku sembunyikan wajahku di sela-sela lipatan tangan yang ku tumpu dengan lutut.

Tubuhku bergetar seirama dengan isakku yang semakin kencang. Aku masih tak percaya dengan apa yang ku lihat tadi. Ini terlalu fiksi untuk diterima akal sehatku.

Kedatangan Sung Rin yang terlalu tiba-tiba saja sudah membuatku syok, ditambah lagi kejadian yang- ah sudahlah. Aku tak mau memikirkannya lagi.

Rasanya dunia runtuh dihadapanku. Aku memaafkan semua yang selalu Sung Rin perlakukan padaku. Bermanja pada Tao yang membuatku menahan kesal, mencuri perhatian Tao yang membuatku menangis, bahkan ketika ia membakar kamarku.

Aku memaafkannya. Tapi, dua hal yang tak bisa ku maafkan darinya. Pertama, pembunuhan yang ia lakukan pada temanku. Bahkan pemerintah pun mungkin tak akan melepaskannya jika tahu masalah ini. Kedua, kejadian tadi. Ini sudah keterlaluan dan melebihi batas. Bahkan sepertinya setiap gerakan wanita ular itu selalu membuatku frustasi.

Angin semilir meniup tubuhku. Rambutku yang terurai bergerak ringan mengikuti arah angin membawanya. Cuaca yang cerah berawan membuat beberapa orang masih betah untuk sekedar berjalan-jalan.

Aku mulai bosan menangis. Nafasku pun mulai teratur. Air mataku sudah berhenti mengalir dan mengering pada permukaan pipiku.

Ku hela nafasku. Mataku menatap lurus ke depan. Dimana jalanan yang penuh dengan individu penuh nafsu bernama manusia. Tak sedikit yang menatapiku karena aku masih terduduk ditanah dengan seragam yang berantakan dan penuh dengan tanah.

Rongga dadaku terasa sangat kosong. Emosiku seakan menguap begitu saja. Aku tak bisa lagi merasakan sedih atau bahagia di dalam sana. Moodku berada di titik terendah.

Aku masih enggan untuk bangkit dari posisiku yang terbilang tak nyaman ini. Dan aku terlalu malas untuk membawa ragaku ini untuk mengikuti perintah otakku. Bahkan untuk menoleh pun aku enggan.

Aku terdiam cukup lama. Lebih lama dari seorang nenek yang ingin mengunyah keripik kentang.

Langit mulai menggelap dan menunjukkan tanda-tanda ingin menangis. Orang-orang yang tadi terlihat sibuk kini mulai berjejalan memenuhi etalase toko untuk menghindari rintik air yang mulai menabrak bumi.

Semakin lama rintik air itu menjadi deras. Sedari tadi aku tak pindah bahkan bergerak sedikit pun dari posisi dudukku.

Tubuhku basah karena terguyur air hujan yang tak tahu kapan berakhirnya. Ada seorang pedagang yang menyuruhku untuk berteduh. Tapi, aku hanya mendiamkannya. Aku sudah seperti seorang mayat yang baru bangit dari makamnya. Tatapan ku kosong dan tubuhku mulai mendingin.

Seseorang berdiri menghalangi arah pandang mataku. Ku tatap sepatu pemiliknya. Sebuah sepatu mewah dengan sedikit noda lumpur disana.

Aku sudah mengetahui siapa pemiliknya hanya dengan melihat dari model sepatu yang ia kenakan. Aku menundukkan kepalaku. Setelah itu, aku mendongakkan kepalaku dan menatap wajah Tao. Salah satu tangannya membawa payung dan memayungiku.

My Lovely Time ControlWo Geschichten leben. Entdecke jetzt