Part 7

5.7K 356 11
                                    

Aku menatap Alif yang juga menatapku, seolah menanti pertanyaan-pertanyaan yang akan kuluncurkan.

"Aku gak ngerti," ujarku memulai. "Selama ini aku kira kamu sama Venus itu ...." ucapku menggantung.

"Pacaran?" tanyanya. Aku mengangguk menanggapi. "Aku tahu kamu pasti berpikir tentang hal itu. Terus kamu juga mikir kalo aku yang nikah sama Venus?" aku mengangguk lagi.

Aku menatapnya, menanti penjelasan darinya tentang apa yang terjadi dan tidak kuketahui selama ini.

"Jadi, gini lo Ay—eh, Nay," ralatnya. "Malam itu, sebenarnya ...." matanya menerawang.

"Kenapa, Lif?" tanya Venus yang duduk di hadapannya.

"Sebenarnya, malam ini Inaya nyuruh aku buat nembak kamu. Aku juga udah nunggu hari ini. Tapi, sekarang aku ngerasa gak mau nembak kamu," jelas Alif pada Venus saat merke berada di kafe, beberapa tahun yang lalu.

"Terus?" tanya Venus yang menatapnya heran.

"Maaf Ven, dulu aku emang suka sama kamu. Tapi, sekarang rasaku beralih sama Inaya." Alif mengembuskan napasnya pelan. "Sebenarnya Inaya itu mantanku. Waktu itu dia memutuskan hubungan denganku, dan aku ketemu kamu. Aku suka sama kamu, tapi itu dulu. Sekarang, rasaku malah kembali untuk Inaya. Karena dia udah bantu aku buat deketin kamu, tapi aku malah jatuh cinta lagi sama dia," jelas Alif, kerutan di dahi Venus semakin berlipat.

"Jadi, gimana sih?"  tanya Venus.

"Intinya, sekarang Inaya kira aku bakal nembak kamu. Padahal aku maunya nembak dia," ujarnya. Venus terkekeh menderngar penjelasan Alif.

"Aku sih gak masalah kalau kamu gak jadi nembak aku. Soalnya aku juga bingung harus jawab apa ke kamu. Kalau kamu emang suka sama Inaya, ya kamu bilang aja sekarang. Mumpung dia ada disini juga tuh—" Venus tersentak melihat Inaya tak ada di tempatnya.

Hening malam kembali merasuk ke dalam pikiranku. Aku memutar bola mataku, mengedipkannya sesekali untuk menahan agar air mata tidak keluar. Jadi, selama ini semua yang aku sangka itu salah.

"Jadi, malam itu kalian gak?" Alif menggelengkan kepalanya.

"Tahu gak, pas kamu memutuskan untuk pergi ke Maroko, aku merasa sedih," katanya.

"Kalau gitu, kenapa gak nyegah aku?" tanyaku menyelidik ke dalam bola matanya.

"Aku mau, kalau aja aku bisa melakukannya. Setelah malam itu, aku kira kamu memang gak suka sama aku," jelasnya lagi.

"Emang aku gak suka sama kamu," ucapku tak acuh.

Alif terkekeh mendengar pernyataanku, terlebih karena aku memalingkan wajahku saat mengatakannya.

"Awalnya aku merasa begitu. Tapi, ternyata kamu bohong. Aku udah tahu semuanya, waktu itu aku mendatangi kakakmu dan dia menceritakan semuanya." Tawanya yang semula tertahan kini seolah pecah begitu saja.

"Faiz." Aku mendelik ke arahnya. Dia hanya nyengir kuda dan mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya.

"Itu sebabnya kamu bilang aku bisa menolak untuk pergi ke Maroko karena alasan yang sama yang membawaku untuk pergi ke Maroko?" tanyaku penasaran.

"Ya." Ia memiringkan kepalanya.

"Karena kamu tahu aku menyukaimu?" tanyaku lagi

"Ya, ya, ya," jawabnya.

Kata-katanya membuatku terdiam. Tapi, tetap saja di kepalaku masih tersimpan banyak pertanyaan untuknya.

"Woi, kita udah lama di luar." Faiz terlihat kesal menungguku bicara dengan Alif. Saat Alif hendak beranjak, aku mencegahnya. Ada hal lain yang menggangguku.

"Tunggu, Alif. Kenapa kamu datang sama sama Kak Fatimah terus sama suaminya juga?" Alif kembali terkekeh mendengar pertanyaan yang keluar dari mulutku.

"Kak Fatimah itu kakak perempuanku. Laki-laki itu bukan suami Kak Fatimah, dia kakakku juga. Suami kak Fatimah sedang ada tugas di luar kota, itu sebabnya dia tidak ikut," jelasnya.

Penjelasannya membuatku kembali terdiam. Kalau benar kak Fatimah adalah kakak perempuan Alif. Dia mungkin akan menceritakan semua tentangku padanya. Aku sudah banyak bercerita pada kak Fatimah tentang Alif, tanpa ku sadari dia adalah kakak perempuannya.

🍀

Semua orang di dalam terlihat menungguku.

"Udah selesai?" tanya abah.

"Udah." Aku duduk kembali di samping mama.

"Nak, Alif. Bagaimana? Apa kamu sudah yakin dengan pilihanmu?" tanya abah lagi.

Alif mengangguk mantap. "In syaa Allah, saya yakin karena Allah." Aku tersenyum mendengar jawabannya.

"Apa kamu bersedia menjaga anak Mama? Dia anak gadi satu-satunya. Mama hanya ingin yang terbaik untuk, Naya." Mama menggenggam jemariku seraya tersenyum.

"In syaa Allah, saya akan menjaga Naya. Selain itu, saya juga ingin menuju ridho-Nya bersama Inaya. Andaikan Inaya menerima, saya akan berusaha menjadi imam yang baik untuk Inaya," jelasnya.

Wajahku yang masih menunduk saat ini terasa panas. Senyum merekah di bibirku.

Ini kah takdir indah-Mu itu.

"Bagaimana, Nay?" abah mengalihkan pertanyaannya padaku.

"Nay belum tahu, Bah. Boleh Nah pikirkan dulu?" tanyaku.

Semua orang menyetujui permintaanku. Hingga jawaban dariku dipending.

Malam ini cukup mengesankan. Keluarga Alif sudah kembali ke rumahnya. Sedang aku kembali ke kamar dan memikirkan jawaban untuknya.

🌸

Great QadarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang