FIFTH

666 86 17
                                    

"Aku membutuhkan sosok yang mampu memahamiku, Yang mampu mengerti akan kesedihanku, Dan sanggup menghapus air mata hatiku."

Mungkin aku kelelahan menangis hingga tertidur. Kulihat jam dinding diruangan ini. Pukul 4 sore. Lalu aku kembali menatap langit-langit ruangan inap ini, dan membayangkan kejadian beberapa jam tadi. Mengingat hal itu mampu membuatku meneteskan air mata kembali. Ini sungguh berat untuk aku terima.

Tak kuhiraukan perutku yang mulai berteriak meminta energi. Lagipula aku belum bisa banyak bergerak. Mana mungkin aku mengambil nampan makanan yang letaknya satu meter dari ranjangku ini.

Saat ingin kembali memejamkan mataku kembali, aku mendengar suara dari luar ruanganku.

"Hey, kurasa kita tidak benar-benar harus menjenguk Evelyn. Bukankah tujuan kita ini untuk melihat kondisi kakaknya?"

Hatiku kembali memanas saat mendengar celetukan salah satu temanku. Itu adalah suara Vicka. Salah satu teman kelasku yang sangat membenci keberadaanku. Vicka memang sangat mengidolakan Fera. Bahkan dia sangat ingin menjadi seorang model terkenal seperti Feranica.

"Lalu buah-buahan yang kita bawa ini untuk siapa?"

Suara itu, adalah suara Jessi. Temanku yang sangat aku benci. Dia adalah orang yang selalu mengatakan kata-kata kasar kepadaku. Bahkan tak jarang meludahiku. Sudah kubilang, mereka seenaknya merendahkanku, menghinaku, bahkan melupakan adanya hatiku yang masih berfungsi dengan sangat baik ini.

"Untuk.. kak Fera."

Dan suara-suara itu kemudian menghilang. Menyisakan kembali air mataku yang hanya bisa menetes.

Aku baru saja berniat kembali memejamkan mataku. Namun hal itu kembali terusik saat suara pintu terbuka, itu cukup membuatku kembali membuka kedua mataku. Kulihat ada seseorang berjalan kearahku sambil membawa sebuket bunga.

Kurasa orang tersebut salah memasuki ruangan. Bukankah dia itu manusia taman? Mengapa dia berada disini? Apa aku sedang berhalusinasi? Haha.. mungkin ini efek aku yang sangat frustasi hingga mengakibatkan khayalan yang begitu nyata menurutku.

Aku masih asyik memandangi tubuh itu. Dia menggunakan baju lengan panjang berwarna putih dan celana levis, serta sepatu adidas yang masih terlihat kinclong berwarna abu-abu. Sungguh sangat tampan.

"Hai,"

Kudengar dia mengatakan sesuatu. Bahkan suaranya saja sangat nyata menurutku. Apa aku begitu merindukannya? Kurasa iya. Sudah sebulan lebih aku tidak bertemu dengannya.

"Ini bunga untukmu.." Dia memberikan bunga tersebut sambil menampilkan senyumannya yang sangat khas menurutku. Kuterima bunga tersebut. Lihat. Bahkan aku seperti memegang sebuah bunga sungguhan.

"Bagaimana kondisimu? Apa sudah mendingan?"

Aku masih sibuk memperhatikan wajahnya. Ini sungguh seperti sangat nyata menurutku. Apa aku sedang bermimpi? Apa aku sedang koma kembali? Tidak tidak, aku tidak ingin koma kembali.

"Kau, mengapa ada disini?"

"Aku? Tentu saja aku kesini untuk menengokmu," jawabnya santai.

Menengokku? Apa aku tidak salah dengar? Sepertinya kesadaranku belum pulih total semenjak siuman tadi. Mana mungkin aku berpikiran orang yang sangat mustahil mengenalku justru datang menemuiku dengan sangat santainya. Bukankah itu aneh?

"Kau. Apakah nyata?" tanyaku bego.

"Menurutmu? Apa sangat mustahil jika ada seseorang yang menengokmu?"

Dia berbicara apa sebenarnya. Mana mungkin ini nyata. Ini sangat mustahil. Benar-benar mustahil.

"Kita.. Tidak saling kenal," Aku melontarkan kalimat tersebut dengan sangat pelan. Dan kalimat itu cukup membuatnya terdiam sesaat. Dia menatapku dengan tatapan yang sungguh aku tidak tahu maksud dari tatapannya itu. Tapi itu tidak berlangsung lama saat dia kembali tersenyum memamerkan gigi putihnya.

98 kgWhere stories live. Discover now