Felicia berjalan perlahan, dan begitu tiba di sisi ranjang Leander, dia duduk di pinggirnya lalu merebahkan kepalanya di atas dada Leander. Mengucapkan syukur karena masih mendengar detak jantung laki-laki itu, meskipun begitu lemah.

"Bukankah tubuh Lean panas—"

Leandra langsung menahan lengan Lucy saat adiknya itu ingin masuk ke kamar Leander. "Biarkan mereka bicara."

Lucy menyentak tangannya kuat. "Kau yakin Lean akan baik-baik saja setelah mendengar suara gadis itu? Bukankah gadis itu penyebab Lean ingin menyerah?"

Leandra mengerjap. "Bagaimana kau bisa tahu?"

Alena muncul tak lama kemudian, "Kami mendengar kalian bicara." Dia mengangkat bahu. "Lagi pula, Lean pernah bilang bahwa dia mencintai seseorang yang tidak bisa dia miliki."

"Itu karena Lean tidak tahu apa-apa," tukas Leandra. "Dia hanya terlalu takut kehilangan sampai-sampai tidak berani mencoba sama sekali. Padahal jatuh cinta dan kehilangan nyaris satu paket. Saat kau berani jatuh cinta, kau juga harus siap kehilangan."

Lucy mengerutkan kening. "Kau tidak sedang bertengkar dengan Daren, kan?" tanyanya sambil menatap Leandra dan Daren bergantian.

"Hei adik ipar, kami baik-baik saja," sahut Daren cepat.

Felicia mengangkat kepalanya, lalu menghapus air matanya dengan cepat. Dia menoleh ke arah pintu dan mendapati pintu kamar Leander sudah tertutup, entah siapa yang melakukannya. Setelah menghembuskan napas panjang, dia menarik tangan Leander dan menggenggamnya erat.

"Ini aku," ujar Felicia. "Aku minta maaf atas kata-kata yang aku ucapkan saat terakhir kali kita bertemu. Aku tidak bermaksud mengatakannya. Lagi pula, itukan karena ulahmu," sungutnya. "Coba saja kau tidak mengarang cerita tentang perasaanmu pada Leandra, aku tidak akan seperti itu."

Tanpa melepaskan genggamannya, Felicia terus berbicara, "Kau tahu? Kau itu pria pengecut yang pernah kutemui. Awalnya aku juga tidak ingin berhubungan denganmu, karena tidak ingin kau lari setelah tahu aku yang sebenarnya. Yeah, aku sedikit berbeda."

Mata Felicia berubah menerawang. "Aku bisa membaca pikiran. Tapi, aku tidak bisa membaca pikiranmu. Satu-satunya orang yang tidak bisa kubaca adalah kau. Sejak kita pertama bertemu, aku sudah sangat penasaran tapi aku mengabaikannya. Tapi semakin lama, rasa penasaran itu terus bertambah. Aku mulai bertanya-tanya bagaimana pandanganmu padaku. Kau terkadang baik padaku, membantuku mengerjakan sesuatu hal, tapi kemudian aku menyaksikan sendiri kau membantu wanita lain. Memperlakukan mereka sama seperti yang kau lakukan padaku. Dan saat aku sibuk menerka-nerka seperti apa pandanganmu padaku, aku ikut terjerat."

Felicia tertawa. "Yeah, kuakui kau memang punya pesona yang kuat. Padahal kau termasuk pria yang dingin. Jenis pria yang paling tidak aku suka di muka bumi. Seperti yang orang bilang, pada akhirnya kau akan bersama dengan orang yang paling tidak kau inginkan itu. Karena nyatanya, orang yang paling tidak kau inginkan itu adalah orang yang paling kau butuhkan. Entah bagaimana bisa begitu."

"Lalu, kau mengajakku berkencan." Dia terkekeh kecil. "Aku senang sekali waktu itu. Aku bahkan mulai mempersiapkan diri untuk mengaku padamu. Meskipun takut, aku tidak pernah berpikir untuk mundur, kau tahu?" suaranya mulai bergetar. "Kenapa kau bodoh sekali?! Bagaimana kalau Leandra tidak menemuiku? Bagaimana kalau semuanya sudah terlambat? Kau akan membuat semua orang sedih karena pergi begitu saja. Seharusnya..."

Gadis itu menggelengkan kepalanya. "Aku sudah bicara ke mana-mana. Tapi, tak apa. Setidaknya kau bisa mendengar suaraku. Yang perlu kau lakukan adalah menemukanku. Fokuslah, lalu datang padaku." Felicia menarik napas. "Kembalilah, Lean. Aku butuh kau hidup." Dia menundukkan wajahnya, hingga jarak wajah mereka menipis. "Aku mencintaimu," ujarnya sebelum menyatukan bibir mereka.

LEANDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang