About the Girl Who Took Pictures

23.3K 4.1K 1.1K
                                    

Sejauh dua puluh enam tahun hidupku ini, baru segelintir orang yang bisa membuatku penasaran. Kira-kira masih dapat kuhitung dengan jari.

Aku bisa saja menceritakan semua orang tersebut. Namun, melakukan itu hanya akan membuang-buang waktuku. Jadi, hanya akan kuceritakan sebuah kisah—tentang gadis yang memotret.

Gadis itu (tadinya) adalah tetanggaku. Nomor rumahnya 17, sedangkan milikku 15. Dia bilang, namanya Kirana. Dulu aku percaya. Tetapi, kalau dipikir-pikir sekarang, tidak mungkin dia memberikan nama asli kepada orang-orang.

Setiap gadis itu pergi, kamera selalu terkalung di lehernya. Ketika aku bertanya apa yang ada di dalam kameranya, dia berkata, "Oh, kau tahu. Foto pemandangan."

Namun, ketika kubilang aku ingin melihat foto-foto itu, dia tidak mengizinkanku.

Ada sesuatu yang misterius tentang gadis itu. Tentang kameranya. Tentang apa yang dia potret.

Mengetahui isi kameranya adalah salah satu dari sekian banyak hal yang ingin kulakukan. Aku sudah mencobanya berkali-kali—namun aku juga gagal berkali-kali.

Apa pun itu, isi kameranya jelas adalah rahasia.

Tiba-tiba saja, pada suatu pagi di bulan November, kesempatan datang kepadaku.

Ceritanya begini.

[]

Ketika aku membuka mataku, yang kulihat adalah langit-langit. Ketika aku mencoba bangkit duduk, yang kurasakan adalah beratnya kepalaku. Ketika kutatap sekeliling, yang kupikir adalah, ini bukan rumahku.

Aku berada di sofa putih. Tembok-tembok di sekitarku berwarna krem. Meja kecil berwarna cokelat ada di depanku. Di seberang ruangan, aku melihat pantulan diriku di layar televisi yang hitam pekat. Ketika aku menoleh ke kanan, aku melihat dapur. Ketika aku menoleh ke kiri, aku melihat gorden.

Meskipun sakit, aku akhirnya benar-benar bangkit duduk. Ini rumah tetanggaku. Mengapa aku ada di sini?

"Ah. Kau sudah bangun."

Aku cepat-cepat menoleh ke asal suara, dan langsung menyesali itu sepersekian detik setelahnya. Rasanya, kepalaku sangat sakit. Aku menyandarkan kepala ke sofa dan memijat dahiku.

"Kepalamu sakit, ya? Sepertinya semalam kau mabuk berat."

Sumber suara itu, yang mana adalah si tetangga, berjalan menghampiriku. Dia berhenti tiga langkah dari sofa. "Kau butuh sesuatu?"

"Ya," kataku. "Aku butuh teh hangat. Terima kasih."

Gadis itu tersenyum. "Tentu."

Lalu, dia melangkah menuju dapur. Sambil menunggu minumanku datang—dan sakit kepalaku hilang—aku mengamati sosoknya.

Yah, nama itu memang cocok untuknya, Kirana. Bahkan, dari belakang dia terlihat cantik. Anggun. Punggungnya terlihat kecil, membuatku ingin menyentuhnya. Rambutnya dikucir kuda, memperlihatkan leher jenjangnya. Dia bersenandung pelan sambil mengangguk-angguk kecil, menyebabkan kucir kudanya berayun. Tanpa sadar, aku tersenyum.

Itu belum seberapa. Dari depan, dia benar-benar kirana. Kulitnya kecokelatan. Matanya sayu, dan bulu matanya lentik. Bibir merahnya mungil. Kurasa, memandanginya seharian tidak akan membuatku bosan.

Kirana berbalik dengan secangkir teh di tangannya. Saat mata kami bertemu, aku tidak mengalihkannya. Aku sudah sering tertangkap basah sedang memandangnya. Lagi pula, dia sepertinya tidak peduli.

Dia berjalan ke arahku, kemudian meletakkan cangkir teh di atas meja. "Ini. Kau boleh meminumnya."

"Memangnya, tadi ada yang melarang?" gurauku. Kirana tertawa sambil menempatkan diri di sebelahku.

About the Girl Who Took PicturesWhere stories live. Discover now