Is it too late now to say sorry?

Mulai dari awal
                                    

******

"Kakak calon dokter tapi malah nggak bisa ngerawat kamu, ngerawat adeknya sendir--"

Kalimat Zahira terpotong begitu saja oleh isakan tangisnya sendiri. Luna hanya menatap Kakaknya di layar ponsel sambil tersenyum menahan tawa.

"Raka aja yang kuliah di Australi bela-belain pulang. Masa kakak yang cuma di Jogja--"

Lagi, tangis itu meredam kalimatnya. Luna tidak bisa menahan tawanya lebih lama lagi.

"Kajah, gue ada Mama, Papa dan sahabat-sahabat gue di sini. Gue bahkan nggak perlu repot-repot buat ngupas kulit jeruk," ujar Luna sambil melirik Raka di sebelahnya.

"Nah itu makanya. Semua orang ada di situ, kamu separah apa, sih?"

"I'm good. Perfectly good. Nggak usah kepo lah. Kalo lo pengen tau kondisi gue, pulang. Buruan!"

Dengan kalimat bernada ancaman sekaligus candaan itu, Zahira mengangkat wajahnya yang sedari tadi ia tundukkan ke meja putih di depannya. Senyumnya mengembang. Kemudian, ia melirik jam tangannya.

"Jam istitahatnya udah mau selesai. Pegang janji Kakak, akhir bulan ini kakak akan pulang. See you."

"Gue tunggu," Luna menutup video call itu dengan senyuman.

"Akhir bulan nanti mungkin justru gue yang bakal balik lagi ke Aussi," ujar Raka dengan mimik kecewa.

"Alhamdulillah."

Raka mengernyit, lalu memutar bola matanya kesal. Ia melemparkan jeruk yang telah dikupasnya.

Baru akan menyuapkan sepotong buahnya, ketukan pintu membuat Luna menoleh ke arah Raka, menyuruhnya membukakan pintu.

"Dokter Alia?"

Alia tersenyum dan mengangguk sopan pada Raka. Kemudian, ia mendekat ke arah Luna sambil mendorong kursi roda yang dibawanya.

*****

"Seneng nggak?"

Luna menghirup udara bebas. Ia menoleh sekilas ketika Alia menghentikan kursi rodanya, kemudian ia sendiri duduk di salah satu bangku taman. Rambutnya diikat tinggi menyisakan helaian-helaian pendek yang menangkup pipi dokter muda itu.

"Gimana, ya," Luna tampak berpikir sejenak. "Lebih ke lega, sih, Dok. Seneng tuh kalo...." Luna mengedik pada kakinya yang masih belum bisa berjalan.

Meski terdengar sedih, namun mimik wajahnya tampak tersenyum samar sehingga Alia pun tersenyum lega.

"Dokter dengar kamu suka nari, ya?"

"Cheerleading," ralat Luna.

"Aku suka cheerleading, dari situ, barulah aku jadi suka nari," jelas Luna. Ia menoleh, ingin mengetahui ekspresi Alia. Ternyata Dokter itu ingin tahu lebih lanjut tentang cerita Luna.

"Aku nggak pinter di kelas, mungkin setengah ke bawah kali, ya," lanjut Luna sambil terkekeh. "Karena itu, aku gabung cheerleading. Aku pikir kalo aku nggak bisa seneng-seneng di masa SMA dengan jadi anak pinter dan selalu dapet nilai bagus, kenapa nggak jadi anak yang bisa mengekspresikan apa yang aku punya?"

Alia mengangguk-angguk mengerti.

"Piano?" Sebutnya. Salah satu keyword inti dalam hidup Luna.

Luna menyunggingkan senyum. "Seberapa dekat Dokter Alia dengan Mama?"

Alia tidak menjawab. Ia hanya melemparkan senyum sambil mengarahkan matanya ke bawah. Menatap rumput kecil yang terselip di antara dua sepatunya.

"Aku nggak bisa jelasin apa-apa tentang piano. Aku bisa kapan aja datang ke piano. Nggak seperti cheerleading yang bisa aku datengin untuk seneng-seneng aja. Aku bisa datang pada piano saat aku seneng, sedih, kecewa, bahkan marah.

"Jadi, kalo sampe...." Luna meremas-remas fingergrip di tangannya. "Kalo sampe tanganku yang luka, aku nggak ngerti lagi, Dok. Nggak ngerti gimana caranya untuk tetap hidup. Untuk tetap bisa bernapas. Bayanginnya aja nggak bisa."

Alia tersenyum mendengar kekehan di akhir kalimat Luna. Meskipun ia mengerti ada banyak kekhawatiran sekaligus rasa syukur dalam suara Luna karena bukan jarinya yang cedera.

"Begitu, ya.... Ngomong-ngomong, Dokter Anastasia pernah bilang padaku, dia ingin putri-putrinya... melanjutkan pengabdiannya," ujar Alia tanpa basa-basi. "Bagaimana menurutmu?"

Luna mengangguk-angguk pelan. Ia menarik napas berat. "Aku juga mau, Dok, menjadi seperti Dokter Alia.

"Tapi sekarang, masalahnya bukan aku mau atau tidak, Dok. Aku bisa, atau tidak?"

Alia tidak lagi tersenyum mendengar kekehan di akhir kalimat Luna. Kekehan yang membawa segala keputus-asaan. Merasa tidak berhak menasihati Luna lebih jauh, Alia memilih diam. Ia kecewa ketika ia sama sekali tidak bisa memotivasi Luna. Seperti ketika Anastasia begitu memotivasinya dulu.

******

"Kak Luna udah pulang dari rumah sakit kemarin malem, Bang?" Tanya Revan ketika ia dan Juna tengah duduk-duduk di depan TV meskipun keduanya sama-sama mengabaikan tayangan TV dan malah sibuk dengab ponsel masing-masing.

"Hah? Serius? Oh, bagus, deh," tanggap Juna. Tangannya sibuk membuka aplikasi lain untuk menutupi bahwa dirinya diam-diam tengah membuka akun snapchat Sheila yang tengah berada di rumah Luna yang ramai oleh sahabat-sahabat dekatnya itu.

"Btw, lo tau darimana?"

"Nih, si Dinka update ask.fm. Bacot abis dia kaya yang paling deket sama Kak Luna aja."

Belum sempat Juna menanggapi, pintu depan terdengar terbuka. Seorang wanita paruh baya masuk ke dalam dengan menenteng beberapa plastik berisi belanjaan.

"Juna, kamu apa kabar studytour-nya? Kok belum minta uang buat bayar-bayar?"

"Waalaikumsalam," sindir Juna.

Ketika dilihatnya mamanya hanya meringis sambil mengucap salam dengan pelan, Juna berdeham.

"Kayanya Juna nggak ikut tournya, Ma."

Revan menepuk lengan Juna keras. Matanya melotot sambil mulutnya menggumamkan 'Serius lo, Bang?'. Sementara Juna hanya menanggapinya dengan melirik malas.

"Lho, kenapa? Ada masalah sama temen, ya?"

"Bukan gitu, Ma.... Aku males aja. Jauh."

Revan menepuknya sekali lagi. "Terus oleh-oleh gue gimana, Bang?!" Kali ini Revan setengah berteriak dengan alis yang hampir bertaut dan kernyitan di dahinya.

Sementara itu, Juna hanya membalasnya dengan gerakan mulut, 'bodo amat', yang membuat Revan berdecak kesal.

"Ya udah. Toh, yang mau seneng-seneng kamu. Jadi, terserah kamu aja."

Senyum Juna mengembang. Sepersekian detik kemudian, raut wajahnya berubah serius. Sekilas tampak ragu, kemudian berangsur yakin.

"Tapi, boleh nggak, Ma, Juna minta setengah uangnya buat traveling sendiri?"

*****


Haiiii!
Maaf yaa baru bisa update sekarang karena kemarin kemarin tuh sibuk dan sekalinya gabut rasanya mager bgt pgnnya tiduran doanggg.
Btw aku kn udh gaapdet sekitar 4 bulanan ya jd mohon dimaklumi klo ada bagian yg mungkin beda. Yg salah nama lah, atau yang alurnya kurang pas sama part kemarin. At least aku udah reread 2-3 part sebelum ini dan semoga alurnya tertata =]

Makasih ya buat yang masih nunggu, mau baca, nagih, komen, segala macem. I really appreciate it❤

Nggak janji kapan lg bisa update yaa. Oh ya buat yang sedang berpuasa, selamat berpuasa dan semoga berkah puasanya!

Love you xoxo

The Ex [Completed]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang