24 Surprised

Mulai dari awal
                                    

"Aku minum dulu ya, Kak," kataku setelah duduk. Kak Rakana mengangguk dan mengambil botol air mineralnya sendiri. Tiba-tiba suara Demi Lovato dengan Let it Go mengalun dari dalam tasku. Aku buru-buru mengangkatnya setelah melihat bahwa itu telepon dari Daniel. Malu juga caller song milikku berasal dari film animasi Frozen.

"Halo, Niel, ada apa?" tanyaku. Aku dan Daniel memang sedang menyelidiki tentang foto Malikha yang tersebar. Jadi begitu Daniel menelepon kuharap ada kemajuan tentang penyelidikan kami.

"I got something... strange."

"Apaan? Kamu udah lacak IP addressnya? Orang yang upload foto itu"

"Uhh... I did, kamu ke rumah aku bisa nggak, Bel?"

"Aku lagi di lapangan deket Taman Secerah, kenapa? Ada masalah?"

"Uhm, postingan itu di posting di Bandung dari Facebook kakak kelas dua tahun di atas kita."

"Terus? Ada kontaknya? Bisa dihubungi?"

"That's the problem. She has passed away, Bel. Dia meninggal beberapa bulan yang lalu."

Aku tersentak kaget dengan kenyataan yang baru saja kudengar. Sulit untuk mencerna apa yang dikatakan Daniel barusan. Sehingga untuk membalas perkataannya saja aku kebingungan. Foto itu diunggah dari akun yang pemiliknya sudah meninggal beberapa bulan lalu. Padahal tanggal unggahnya tidak lebih dari dua minggu yang lalu.

"Detailnya kamu ke rumahku aja deh. Sekarang kalau bisa, please," ucapnya tanpa mendengar jawabanku. Aku mengangguk tanpa sadar Daniel tidak akan melihatnya.

"Bel?" seru Daniel.

"Ah. Iya. Aku ke sana," kataku lalu menutup sambungan telepon. Saat aku bangkit dari dudukku, tanganku ditahan oleh seseorang. Aku lupa sedang bersama Kak Rakana. Betapa bodohnya aku.

"Ada apa?" tanyanya.

"Maaf, Kak. Aku harus ke rumah Daniel sebentar. Hari ini menyenangkan. Terima kasih," ucapku sedikit terburu-buru. Kukatakan dengan jujur, hari ini memang menyenangkan. Bersama orang yang memercayaimu di tengah lautan orang yang meragukanmu adalah anugerah.

"Kakak antar," katanya. Aku mendongak menatapnya yang kini sudah berdiri di sampingku. Aku menggeleng menolaknya.

"Ini tentang foto itu? Kakak minta maaf, mungkin itu pekerjaan Lyra. Makanya, Kakak antar kamu, ya?" lanjut Kak Rakana.

"Apa? Ah, orang yang memasukkan gambar itu ke grup sekolah bukan Kak Lyra, Kak," ucapku. Membela Kak Lyra memang hal terakhir yang ingin kulakukan tapi tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa pelakunya adalah Kak Lyra, setidaknya belum.

"Sadly, I know her so well. Dia nggak suka kamu, Bel. Dia akan tega melakukan hal itu," jawabnya atas pembelaanku terhadap Kak Lyra. Iya juga, Kak Lyra dan Kak Rakana telah mengenal sejak kecil.

"Tapi kan tidak ada bukti..." desahku pelan.

"Gue juga berharap bukan dia yang melakukannya. Sekalipun dia melakukannya, gue berharap dia sadar itu salah dan salah paham terhadap kamu bisa segera hilang" ucap Kak Rakana pelan.

"Kak—"

"Makanya, kalau nganter kamu ke rumah Daniel akan membantu menyelesaikan masalah. Gue akan bantu," tukasnya. Aku terenyuh sesaat. Dia menyayangi Kak Lyra, entah dengan cara apa. Aku tak mau menduga-duga atau berharap lebih. Alih-alih mendapat kawan, aku akan kehilangan buhu lain untuk kupinjam.

"Itu akan sangat membantu, Kak," kataku akhirnya. Senyum Kak Rakana mengembang setelahnya.

"Ah. Maaf kalau gue berharap bukan Lyra yang melakukannya," sergah Kak Rakana sebelum kami ke motornya. Aku mendesah dan mengangguk setuju. Kak Rakana akan benar-benar sedih bila pelakunya memang Kak Lyra. Tentu saja aku tak menginginkannya dan akupun tulus berharap bukan Kak Lyra yang melakukannya. Rasanya ada yang salah bila aku menghakiminya bila belum ada bukti.

***

Kami sampai di rumah Daniel setengah jam kemudian. Rumah bercat abu-abu bergaya minimalis itu selalu menarik bagiku. Tapi untuk kali ini, aku tak sempat mengaguminya. Alih-alih mengaguminya aku langsung masuk ke dalam rumah segera setelah sistem pengaman pagar dibuka dari dalam.

"Permisi, Daniel!" teriakku kencang. Rasa penasaranku membuncah setelah mendengar hasil pelacakan Daniel. Kak Rakana kuminta mengikutiku masuk kedalam rumah Daniel. Sedikit canggung memang, nanti akan kuceritakan pada Daniel bagaimana aku bisa ke rumahnya bersama Kak Rakana.

Lantai dua letak kamar Daniel sangat sepi. Orang tuanya belum pulang dan pembantu sedang sibuk di dapur. Aku mengetuk pintu yang bertempelkan stiker police line di hampir seluruh permukaannya. Suara-suara dari dalam terdengar aneh, cukup riuh tapi tampaknya bukan dari suara TV maupun PC. Aku bertanya-tanya dengan siapa Daniel berbicara kalau memang suara itu adalah suara obrolan manusia.

Tapi— Kakak— siapa— bukan itu masalahnya— buka pintunya ujar suara-suara dari dalam. Aku menengok ke arah Kak Rakana yang mengedikkan bahu tanda tak tahu apa yang terjadi. Tak lama pintu terbuka dan seorang cewek seusiaku tampak.

"Abel lama banget!" ucap cewek itu.

"Alikha? Lo—" kataku kaget.

"Kak Rakana?" potong Alikha lebih kaget dariku. Matanya terbelalak saat melihat siapa yang sedang berdiri di sebelahku. Ia bahkan tak membiarkan aku selesai bertanya. Pintu kamar Daniel yang hanya terbuka setengah ia tutup dan membiarkan kami berada di luar.

"Tadi gue lagi latihan di lapangan Taman Secerah—"

"Kalian... Aduh," ucapnya panik entah untuk alasan apa.

"Kenapa sih?" kataku agak gusar. Tiba-tiba pintu kamar Daniel terbuka dan menampilkan seseorang yang aku tak pernah membayangkannya bertemu di rumah Daniel apalagi aku sedang bersama Kak Rakana.

"Kalian ngapain sih di pintu lama-lama?" ucapnya. Aku terkesiap saat melihatnya dan saat ia bertanya karena ternyata ia nyata. Tentu saja ia nyata.

"Uhh... Kak Adit?" kataku pelan.

l���&�zVL;.

TaeKwonDo Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang