Prolog

131 8 1
                                        

Teman-temanku baru saja pulang dari pelajaran tambahan dadakan Pak Tio, salah satu guru yang paling cerewet dan menyebalkan. Sementara aku masih saja duduk di bangku panjang taman sekolahku. Ya sekolahku memang memiliki taman yang indah, letaknya di samping sekolah. Bangku ini adalah tempat favoritku karena letaknya yang paling ujung dan tepat di depan laboratorium biologi sehingga jarang ada yang kesana.

Aku meneruskan aktivitasku, menggoyang-goyangkan penaku ditemani pohon rindang yang sejak tadi menyapaku dengan daun-daun keringnya. Musim kemarau, gersang, tandus, itulah kata yang mewakili apa yang terjadi di wilayahku dan juga hatiku. Aku selalu menumpahkan semua kisahku dalam buku ini, kisah lucu, bahagia maupun sedih. Buku perjalanan kisah hidupku sejak masa-masa SMA dulu. Namun sejak saat itu, buku ini dipenuhi oleh kisah pilu perjalanan cintaku denganmu yang hanya berjalan dengan satu kaki. Hidup dan tinggal di bumi namun tak pernah menginjaknya.

Tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan sahabatku . Aku tahu dia datang selalu dengan tujuan utama, mengejekku. Dengan senyum khasnya yang terbit setelah dia lontarkan sejuta kalimat ejekan itu. Sebenarnya dia sahabat yang baik, namun dia tidak selalu suka dengan sikapku yang seperti ini.

"Galau lagi?" tanyanya padaku sambil duduk disampingku. Aku tidak menyahut pertanyaannya. Aku hanya menunduk tanpa menatap ke arahnya dan melanjutkan menulis di buku diaryku.

"Cinta itu kayak beli sepatu Nis. Kalau lo udah suka modelnya, udah tahu harganya tapi lo cuma liatin aja dan gak pernah berani buat nyoba. Lo gak akan tahu apa sepatu itu cocok atau gak sama kaki lo. Lo itu pengecut Nis". Katanya lagi dengan semangat yang menngebu-gebu. Sayangnya aku masih saja tak merespon perkataan yang keluar dari mulutnya.

"Berapa tahun lagi sih yang akan lo buang buat punya keberanian diri nyapa pangeran lo itu? Cuma menyapa Nis supaya dia tahu lo itu ada, masa itu aja lo gak bisa. Lo itu manusia apa robot sih Nis?

"Kalau di dunia ada yang jual keberanian, aku pasti akan membelinya." Sahutku sambil menahan air matanya. Entah kenapa setiap kali membahas tentang kisah cintaku aku selalu menangis.

"Sepertinya hari ini akan turun hujan, sebaiknya lo segera pulang" katanya sambil menatap awan-awan hitam yang menggumpal di sudut langit. Kemudian dia melenggang pergi tanpa mengetahui perasaan berkecambung di hatiku.

Aku masih tidak berkutik dari posisiku. Aku masih memikirkan kata-kata yang keluar dari mulut sahabatku juga masih memikirkan sosok pujaan hatiku, berharap suatu saat nanti aku bisa mengungkapkan perasaanku.

Aku benar-benar terkejut dengan apa yang dikatakan sahabatku. Memang benar katanya, aku sudah memujanya bertahun-tahun sejak pertemuan itu dan sampai sekarang aku masih saja menunggunya. Oh bukan menunggunya, tapi menunggu takdir yang bisa membuatnya jadi milikku. Miris memang, namun itulah kenyataannya.

Indahnya DirimuWhere stories live. Discover now