Part 4

6 0 0
                                    

Malamnya saat aku sedang asik membayangkan pria yang kutemui tadi siang, Nia –sahabat baikku tiba-tiba menelpon dan mulai bertanya-tanya soal pesta dansa yang akan diadakan esok sabtu. Aku tentu tidak akan ikut mengingat aku tidak memiliki pasangan dan aku juga tidak pernah suka mengikuti pesta-pesta semacam itu. Akhirnya aku hanya menjawab sekenanya saja. Entah mengapa isi kepalaku masih teringat dengan kejadian tadi siang. Lagi-lagi aku tersenyum membayangkan wajah pria itu serta petikan gitarnya yang begitu indah.

"Hoi, Alezta! Kau masih mendengarku kan? Bagaimana? Kau ikut kan pesta dansa sabtu esok?" tanya Nia dari sebrang telpon dengan tidak sabar.

"Hmm... Aku mendengarmu, Ennania. Kau mengejekku ya?" jawabku kesal. "Kau berpura-pura tidak tahu atau memang tidak tahu? Kau pikir aku harus pergi dengan siapa ke pesta dansa itu? Dengan Evo?" lanjutku sinis.

Nia terdiam sesaat mendengar kata-kataku. Evo adalah pacar Nia. Aku memang sengaja menyebutkannya karena kesal dan tentu saja tidak mungkin Evo akan mengajakku ke pesta dansa itu. Kecuali pria itu sudah gila.

"Ma..Maafkan aku, Ta. Aku tak maksud menyinggungmu... Ira dan Weffi juga pergi sendiran, kok. Siapa tahu di sana kau menemukan..." balas Nia tergagap bingung.

"Ah, Sudahlah, Ni. Kau mau membujukku bagaimanapun aku tetap tidak akan datang ke pesta dansa itu. Kau menyuruhku mempermalukan diriku sendiri dengan datang ke pesta dansa tanpa pasangan?" potongku dengan malas.

"Athena Marielle! Demi Tuhan... Aku bakhan belum selesai berbicara!" oceh Nia yang juga tiba-tiba merasa kesal. "Kau membuat hal sepele ini menjadi sulit. Mengapa kau begitu keras kepala? Ini mungkin adalah pesta dansa terakhir kita di SMA dan kau sekalipun belum pernah datang ke pesta dansa ini! Ayolah... Jangan keras kepala. Tahun depan mungkin kita tidak bisa lagi menikmati pesta dansa ini lagi karena harus mempersiapkan ujian akhir. Kau bisa mengajak kakakku kalau perlu untuk menjadi pasanganmu kalau pasangan yang menjadi masalahmu. Jangan melepaskan kesempatan terakhirmu untuk memperoleh pasangan di sana!" omel Nia masih merasa kesal tapi tetap berusaha membujukku untuk mengikuti pesta dansa itu.

"Aku sebenarnya bingung dengan kalian. Mengapa kalian begitu bernafsu memaksaku untuk ikut ke pesta dansa itu? Kalian kan sudah tahu kalau aku sangat alergi dengan segala sesuatu yang berkaitan dengan Valentine." Tanyaku dengan binggung dan tidak habis pikir menanggapi omelan Nia yang terus memaksanya untuk ikut ke pesta dansa itu.

Setelahnya, Nia masih berusaha mengajakku untuk ikut. Mulai dari menawarkan jemputan sampai meminjamkan gaun pesta agar aku datang ke pesta dansa itu. Perebatan it uterus berlangsung sampai setengah jam kemudian dan aku tetap pada pendirianku untuk tidak pergi dan perdebatan kami pun terpaksa dihentikan karena sudah terlalu malam. Sebentar lagi pasti mama akan masuk ke kamarku sambil mengomel karena aku belum tidur sampai selarut ini.

~**~

Esok harinya, tak ada lagi yang berusaha memaksaku untuk ikut pesta dansa itu. Mungkin mereka juga kehabisan akal harus bagaimana lagi membujukku untuk ikut. Hal yang membuatku bingung adalah, mengapa mereka begitu bernafsu mengajakku untuk ikut pesta dansa itu? Toh tanpa kehadiranku, pesta itu akan tetap meriah. Malah mungkin kehadiranku malah membuat pesta itu menjadi suram. Mengingat alergiku akan Valentine.

Setelah bel istirahat berbunyi kakiku seakan sudah diprogram untuk berjalan menuju hall tempat kemarin aku bertemu dengan pria misterius itu. Kulangkahkan kakiku secepat mungkin agar segera sampai di hall dengan harapan untuk bertemu lagi dengan pria asing itu.

Sesampainya di depan pintu hall yang sedikit terbuka, sayup-sayup kudengar kali ini alunan musik yang berbeda dari hari sebelumnya, tempo lagu yang kali ini lebih cepat tapi tetap lembut dan enak di dengar. Perlahan kulangkahkan kakiku menuju ke arah suara petikan gitar yang indah itu berharap tidak mengganggu permainan indahnya seperti kemarin. Hari ini aku lagi-lagi hanya menatapnya memainkan gitar dari balik tubuhnya tanpa berkomentar. Entah roh apa yang memasukiku, entah sejak kapan aku menjadi seberani ini? Menemui orang yang tak kukenal dan mengamati apa yang ia lakukan. Pasti aku sudah gila. Karena diriku yang waras tak akan seberani ini.

Sama seperti kemarin, setelah menyelesaikan permainannya, seakan menyadari sedang diperhatikan, ia membalikkan badannya menatapku dan kali ini agak. Aku yakin sekali ia pasti bingung apa yang sedang kulakukan di sini lagi. Hal itu terlihat dari sorot matanya yang seakan mencari tahu maksud kehadiranku. Namun ia tidak mengatakan sepatah katapun. Seperti kemarin, ia berdiri dari posisi duduknya dan berjalan meninggalkan hall dan diriku sendirian di sana.

Ketagihan. Ya, mungkin itulah kata yang dapat menggambarkan perasaanku pada musik dari petikan gitar yang pria itu mainkan. Permainan gitarnya membuatku datang lagi dan lagi ke sana setiap hari untuk mendengarkan alunan gitarnya yang nada-nadanya tidak pernah kudengar. Seakan sehari tanpa mendengar alunan gitarnya dapat membuatku depresi. Seperti pasien yang membutuhkan obat secara rutin. Itu yang sepertinya kurasakan pada alunan musik pada petikan gitar yang ia mainkan. Meski setiap menyadari kehadiranku, pria tampan itu akan segera menghentikan permainannya dan pergi meninggalkanku sendiri di dalam hall yang besar itu.


A Piece of Chocolate for My ValentineWhere stories live. Discover now