The First Pain

194 24 48
                                    

Adeeva Afsheen Myesha gadis berusia 17 tahun ini meringsut dibalik pintu bercat merah muda dengan sedikit garis putih yang mendominasinya. Tetesan air mata yang kian membanjir mengenai pipi tirus gadis itu begitu deras. Ia menutup kedua telinganya rapat-rapat. Namun, ia masih bisa mendengar suara berat seorang pria yang menggema di seluruh sudut ruangan. Terdengar dengan jelas cambukan serta tamparan tajam mengenai badan seorang wanita yang berada tidak jauh dari balik pintu kamar Eva. Ia sudah tidak tahan lagi mendengar rintihan wanita di seberang sana. Tanpa pikir panjang ia bangkit dari ketakutannya dan berlari kecil menghampiri wanita itu.

"Sudah yah hentikan!" Pinta Eva dengan isakan kecil.

Dipeluknya dengan erat malaikat yang telah melahirkannya. Suasana mendadak menjadi hening saat gadis itu mengatakan untuk berhenti. Semua kesakitan sejenak berhenti bersamaan dengan jarum jam yang menunjukan tepat pukul 09.00 malam. Buuggg! Hantaman tajam tepat mengenai punggung Eva, ia semakin mengeratkan pelukannya kepada wanita paruh baya yang terisak menahan kesakitan. Tepat sekali wanita paruh baya itu adalah mama Eva, biasanya orang memanggilnya Lily. Kepala Eva terasa pening seakan-akan dunia berputar dengan hebatnya. Goncangan yang begitu habat hingga akhirnya semua menjadi gelap.

Senin pagi semua terasa normal, tidak ada yang terjadi layaknya kejadian malam itu. Decikan sendok berirama menyatu dengan mangkok bening berisikan susu putih serta sereal coklat yang terapung dengan bebasnya. Aroma kopi dan roti panggang yang menyeruak masuk ke dalam hidung. Tak lupa suara seruputan kopi yang menambah sensasi dalam ruang makan pagi ini. Hening! Suasana pagi ini berubah total, tidak seperti biasanya. Tak ada seorang pun yang memulai pembicaraan.

"Ayah berangkat dulu." Suara berat itu memecah keheningan ruang makan pagi ini.

Pria berbadan tinggi yang usianya hampir setengah abad itu mengecup puncak kepala Eva dengan lembut kemudian tanpa hitungan menit pria itu telah menghilang, digantikan suara mobil yang melaju meninggalkan rumah medium ini.

"Mama gak papa kan?" Tanya Eva sedikit cemas melihat kondisi mamanya yang sedikit mengenaskan. Garis hitam di bawah matanya sangat kentara disertai dengan mata bulatnya yang sembab akibat tangisannya semalam.

"Mama gak papa, Eva siap-siap ya nak. Nanti kamu terlambat masuk sekolah." Balasnya dengan senyum getir yang menghiasi wajah lesunya.

Dengan berat hati Eva segera mengambil tas punggung biru miliknya. Dipeluk tubuh mamanya dengan hangat, ia berharap kejadian semalam tak terulang kembali, semoga saja.

***

Baru saja tiba di sekolah bunyi bel telah menggema di seluruh ruangan. Eva sedikit meringis akibat cambukan tadi malam yang lolos mengenai punggungnya. Ia berjalan melalui koridor untuk menuju kelasnya. Ia masih teringat bagaimana ekspresi ayahnya malam itu ketika melontarkan cambukan pada punggung mamanya. Ia bahkan tidak tahu alasan pasti kenapa ayahnya melakukan kekerasan seperti itu. Tak seperti biasanya, ayah Eva yaitu Daniel yang selalu hangat setiap kali bertemu namun, hal ini sangat tak wajar baginya. Ia merasakan luka pertama mulai membenam dilubuk hatinya. Bahkan ia tidak berniat lagi untuk dekat dengan laki-laki karena rasa takut mulai menjalar. Brugg! Ia terjatuh yang sukses membuyarkan lamunannya dan kembali menghadapi dunia nyata yang entah dimana ia berada dan sampai mana ia berjalan.

"Sorry gue gak sengaja." Suara lembut laki-laki itu masuk ke dalam gendang telinga Eva.

Laki-laki itu mencoba membantu Eva berdiri, perlahan tangannya menyentuh lengan Eva. Belum sempat mengangkatnya Eva menangkis telapak tangan laki-laki itu menjauh dari lengannya, Eva menatap laki-laki itu sekilas dengan tatapan takut. Ia berdiri dan berlari sekencang mungkin. Laki-laki itu terheran, ia membalikan badannya untuk melihat Eva yang mulai menghilang. Laki-laki itu hanya tersenyum kemudian mengangkat kedua bahunya dan segera meninggalkan koridor sepi yang ia lalui.

"Kamu kenapa sih Va, kok ngos-ngosan gitu?" Tanya Irina teman sebangku Eva yang menyodorkan sebotol air mineral untuk Eva.

"Makasih Rin, gak papa kok, tadi abis olahraga." Dustanya lalu meneguk air mineral itu.

Eva memang selalu menutup dirinya, ia tidak pernah menceritakan masalah pribadinya kepada siapapun termasuk kepada keluarganya sekalipun. Ia akan menutup rapat-rapat semua rahasia yang ada dalam dirinya. Bahkan masalah sepelepun ia tetap kukuh untuk menyimpannya seorang diri. Walaupun ia introvert namun, ia akan setia mendengar keluh kesah orang lain dan curahan isi hati orang lain yang dicurahkan kepada pada Eva.

"Pulang sekolah kamu harus temenin aku nonton pertandingan basket di lapangan. Harus!" Ujar Irina sangat bahagia.

"Gimana ya Rin, aku harus pulang awal nih." dustanya. Jujur saja, bukannya Eva tidak suka, namun ia sedang tidak dalam mood yang baik untuk melihat pertunjukan bola basket itu.

"Sekali aja Va, please." Irina menunjukan pose imutnya dengan menyatukan kedua tangan dan menempelkannya di depan dada. Eva hanya mendesah ringan dan mengangguk.

Ketika pelajaran berlangsung ia menatap luar jendela sekilas. Nampak laki-laki tinggi dengan pakaian olahraga yang berlari kesana kemari menggiring bola dan mengoperkan bola itu kepada timnya. Eva merasa sedikit bersalah kepada laki-laki itu karena tidak megngucapkan kata 'maaf' setelah menabraknya. Namun tidak bisa ia pungkiri lagi, entah kenapa rasa takut menjalar begitu saja saat melihat laki-laki manapun. Seusai pelajaran, bel jam terakhirpun berbunyi dengan nyaring. Irina dengan antusias menarik lengan Eva menuju lapangan.

"Rin kamu duluan aja deh, aku mau beli minum dulu." Irina mengerucutkan bibinya sebentar beberapa detik kemudian bibir kerucutnya itu berganti dengan senyuman manis. Ia mengangguk kemudian meninggalkan Eva.

Eva mengambil tasnya lalu berjalan menuju perpustakaan. Ia memang berbohong kali ini, ia berjanji akan datang hanya saja ia sedikit mengulur waktu lebih lama untuk datang ke lapangan. mungkin sudah 30 menit ia berada di perpustakaan. segeralah ia menuju lapangan basket. jarak sekitar 4 meter dari lapangan out door itu ia bisa mendengar sorakan para wanita dengan meneriaki salah satu nama pemain basket. Entahlah Eva sama sekali tidak tertarik dengan sorakan itu dan berlalu menghiraukannya. Eva berjalan mendekat lagi. Buugg! Bola basket menghantam tepat di kakinya yang berhasil membuat Eva tersungkur jatuh ke tanah.

"Aah" Ia sedikit meringis menahan sakit di bagian kakinya, bahkan untuk menggesernya saja ia merasa ototnya menjerat dengan sangat kuat seperti ada seseorang yang mencengkram kakinya.

"Lo gak papa?" Suara itu persis sepertu seseorang yang ia tabrak di koridor beberapa jam yang lalu. ia sedikit mendongakkan wajahnya, dan memang benar itu adalah laki-laki yang sama.

"ahh.." Eva meringis kesakitan menahan rasa nyeri yang menjalar dengan hebat saat laki-laki itu memegang kakinya dengan ringan. Tanpa babibu lagi laki-laki itu menggendong Eva menuju klinik kesehatan. Seketika itu juga Eva bergidik ngeri.

"Aaa.. apa yang kau lakukan? Lepaskan aku sekarang juga!" Ia menjerit dan memberontak.

Ia takut sangat takut, saking takutnya ia memukul lengan dan dada laki-laki itu sembarang arah. Berontakan Eva tentu saja membuat laki-laki itu hampir kehilangan keseimbangan namun, dengan cepat ia bisa mengkondisikan dengan baik. Tubuh kurus Eva tidak menjadi penghalang bagi laki-laki berbadan atletis itu untuk membopong Eva seorang diri. Walaupun ia merasa sedikit ngilu saat tangan Eva menyerbunya tanpa henti namun ia sama sekali menghiraukannya. 'Yang terpenting adalah dia baik-baik saja' batin laki-laki itu dalam hati.

"Pilih diem atau lo, gue cium?" Ancam laki-laki itu.

.
.
.
.
.
.

TBC

Pampam! Chapter pertama berhasil di luncurkan. Gimana garing gak? Soalnya baru awal jadi yah gini hehe buat kritikan silakan comment guys... Vote juga ya guys anggep aja amal. Dapet pahala lho..

Udah gitu ajah, paipai!

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 04, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Someone Help Me Please!Where stories live. Discover now