3

1.2K 24 2
                                    

Cuaca cerah seolah mendukung kegiatan lelaki yang sedang bermain golf di lapangan mini belakang rumahnya.

Meski matahari sudah tinggal beberapa jam lagi dan akan tenggelam sebentar lagi. Tapi rasanya panasnya masih bisa membakar kulit.

Rehan melakukan pukulan terakhirnya dengan menikmati suasana yang begitu tenang, tentram, damai. sebelum tiba-tiba datang suara yang memekakan telinga.

"Ayaaaah" Abi berlari secepat mungkin di susul Ibra yang berlari pontang-panting menyusul sang kakak. Meninggalkan adiknya yang baru bisa berjalan beberapa minggu yang lalu.

Rehan menengok, tawa-nya pecah saat melihat anak ragilnya yang mirip buntalan berlari mengejar kakak nya. Lalu memutuskan untuk duduk di rerumputan menunggu dua jagoan kecilnya sampai. Masih dengan tawa yang semakin lama semakin kencang.

Abi langsung melemparkan tubuhnya ke pangkuan ayah nya, membalikkan badannya lalu duduk ikut melihat adiknya yang masih tertinggal jauh di belakang. Ketika melihat Ibra mulai dekat -meski tadi terjatuh karena tersandung kakinya sendiri- Abi mulai panik. Mencoba menguasai pangkuan ayahnya dengan badan kecilnya.

Merentangkan tangannya seolah menandakan 'tidak boleh'. Dan tentu saja, disalah artikan Ibra -yang selalu mendapatkan rentangan tangan Bunda saat masih latihan jalan dulu- itu adalah tanda untuk 'kemari'.

Dengan semangat Ibra berlari dengan senyum mengembang di selingi dengan tawa. Seolah itu adalah hal yang mengasyikkan untuknya. Langkah kecilnya seketika berhenti saat tidak menemukan celah untuknya duduk di pangkuan sang ayah.

Tapi peduli apa, tanpa menunggu lama, Ibra langsung menjatuhkan badannya begitu saja tanpa peduli kalau badannya itu menimpa kakaknya. Yang sedang mengerang protes sambil menjerit-jerit karena tertimpa beban badan adiknya yang tidak bisa dianggap remeh Sedangkan sang ayah, hanya bisa meringis melihatnya. Rehan tau rasanya jadi Abi. Karena bayi itu sering menimpa perut ataupun dadanya. jika ingin bermain dengannya. Dan rasanya, tulang rusuknya seperti akan remuk.

Tangan Rehan dengan sigap mengangkat tubuh Ibra. Sebelum Abi menggerung marah dan berakhir dengan pecahnya tangis Abi, Lalu istri cantiknya akan mengomelinya.

Berpura-pura memarahi bayi kecil itu saat melihat wajah abi yang memerah. Itu cara ampuh untuk menghindari omelan istrinya karena salah satu anak kesayangannya ada yang menangis.

"Kamu tambah berat aja ya, bram" jujur saja, ibram memang seperti karung beras.

Bocah yang sedang dibicarakan malah tertawa, mengira kalau ayahnya mengajak dia bercanda.

"Ayaaah, Abi pengen ke Kebun Binatang. Boleh ya Yah" Abi berbicara sambil menggelitiki kaki adiknya. Dengan takut-takut melirik ke arah Ayahnya.

Rehan menarik nafas berat. Sebenarnya ini bukan permintaan yang berat. Tapi melihat Ibram yang hiperaktif. Sedangkan Abi yang akan lupa diri jika sudah di tempat yang diinginkan. Pesan-pesan yang di katakan orang tuanya pun, yang tadi bercokol di otaknya. Tiba-tiba menghilang bagai daun tertiup angin.

Jadi keputusannya tetap sama seperti kemarin.
"Hari sabtu atau minggu aja ya, Bang. Ayahkan juga pengen liat" dalih Rehan.

Muka Abi cemberut. Sebenarnya, alasan Abi ingin ke kebun binatang adalah hari kamis nanti ada tugas cerita di depan kelas. Abi ingin menceritakan hal yang asik ke teman-temannya. kemarin kan liburnya lumayan panjang. Soalnya kakak yang kelas 6 sedang ujian nasional. Jadi dia dan kawan-kawan yang lain libur.

"Aaaaa, tapi Abi kan mau cerita ke teman-teman, Yah. Masa Abi harus cerita kalau liburannya di Rumah Sakit. Gak mau ah" protesnya.

Rehan menarik nafas, 'sabar Re, begini-begini anak mu juga'.

Abi mendongak, bibirnya cemberut karena hanya mendapat balasan nafas dari sang ayah.
"Ayah kenapa hah huh hah sih. Nanti dimarahin Bunda loh" Bundany itu orang yang suka menghela nafas, tapi kalau ada orang lain yang menghela nafas di depannya. Bunda akan marah.

"Iya deh, nanti Ayah ijin kerja sama Eyang dulu"

Melihat binar di mata anak sulung membuat marahnya reda. Senyuman lebar sampai telinga menular juga ke Rehan. Mau gimana lagi, melihat senyum belahan jiwa itu rasanya adem.

Setelah mendengar keputusan ayahnya, dia langsung melesat mencari sang bunda. Sambil teriak dan berlari-lari memanggil bunda. Sedangkan Ibram yang hanya menjadi pengamat sedari tadi akhirnya bersuara. Hanya kekehan kecil karena melihat abang nya senang. meski dia sendiri gak tau apa yang membuat abi senang.

BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang