Hijau menggeliat

8.9K 733 14
                                    

Siang itu, begitu terik. Matahari terlalu menyilaukan bagi gadis itu, begitu pula dengan gadis berkacamata yang ada disampingnya. Aisya dan Adiva pulang sekolah menggunakan angkutan umum alias angkot membuat mereka berdua seperti yang lainnya menunggu ramai-ramai didepan gerbang sekolah.

"Va, gue balik kedalam dulu ya. Ke kamar kecil, kebelet nih."
Pamit Aisya yang terlihat sedang menahan sesuatu.

"Iya iya, cepet sana gih. Jangan sampai kececeran pokoknya."
Jawaban Adiva mampu membuat Aisya mendelik. Bisa-bisanya dia bicara seperti itu.

"Ngomong apasih lo."
Gerutu Aisya yang membuat Adiva cekikikan.
Dan gadis itupun segera melangkahkan kakinya kembali kedalam lingkungan sekolah. Seolah-olah apa yang ditahannya tidak bisa ditahan lagi.

Matanya berbinar-binar seperti menemukan pantai yang akan menenggelamkannya dalam ketenangan. Dan kali ini wc, bak seperti pantai itu. Didalam dia akan segera mendapatkan ketenangan. Duh apasih, wc dikategorikan sebagai tempat yang menenangkan, gila.

Cepat-cepat dia masuk kedalam ruangan sempit itu.

Dan tidak lama kemudian gadis itu muncul dengan wajah sumringahnya. Seperti beban hidup yang baru dia buang jauh-jauh.
Langkahnya segera dipercepat lagi, untuk menghampiri Adiva, bisa-bisa sahabatnya itu mengomel dan akibatnya dia harus pergi ke THT untuk memeriksakan telinganya.
Namun apa yang dilihatnya sekarang, membuatnya berhenti. Tempatnya berdiri yang rimbun dengan tumbuhan bunga-bunga yang meninggi membuatnya terhalang dari setiap pandangan. Namun bagi dia sendiri, matanya bisa tertuju langsung pada dua insan muda, Arkhan dan Aila. Kenapa setiap yang ditemui Arkhan, sudah pasti ada gadis itu disampingnya. Apa memang dia beli lem perekat untuk Arkhan, sampai-sampai jauh sesenti pun mereka enggan. Untung saja, mereka tidak satu kelas, kalau itu terjadi, bukan hanya mereka terkenal hitz pasangan mesra diseluruh murid, tapi juga ke para guru.

Duh Ya Allah, kenapa hati ini pendengki seperti ini.
Sisi terang hatinya mencela.

Bukan pendengki, seharusnya melihat seperti itu kamu bisa menegur mereka Aisya.
Sisi gelapnya hatinya menyahut. Tapi apa yang dikatakan oleh hati gelapnya ada benarnya. Memang dia iri dengan Aila, tapi seharusnya dia tidak bisa membiarkan itu terjadi, itu semua sudah termasuk zina, zina mata, zina hati. Zina hati? iya, bagaimana kalau hatimu sudah dipenuhi dengan nama gadis itu? apa itu tidak termasuk zina, padahal hatinya dibuat oleh Allah, yang wajib ada dihatinya.

"Ah sudahlah, kenapa aku mengurusi hubungan mereka."
Gerutu Aisya mencela dirinya yang tidak habis fikir kenapa bisa berhenti hanya karena mereka berdua.

"Apa salahnya saling mengingatkan."
Suara itu berhasil mengejutkan Aisya yang sedang mengintip dirimbunan bunga.

"Kak Syarif."
Kenapa laki-laki itu ada dimana-mana? seperti tadi, saat di kantin dia menceritakan dirinya yang terjebak hujan dengan Syarif, menceritakan sikap dingin laki-laki itu. Tapi ternyata Syarif datang dengan wajah datarnya, membuat gadis itu bungkam seribu bahasa. Dan Adiva hanya bisa menertawai kekonyolannya.

"Sebaiknya, tidak perlu menguntit seperti itu."
Tambah laki-laki itu.

"Aku tidak menguntit kok Kak."
Elak Aisya. Bukan menguntit, hanya mengintip.

"Oh ya? gimana kalau ulat ada dikerudungmu akibat kebohongan itu?"
Laki-laki itu selalu menyudutkannya.

Tapi sebentar. Ulat? Ulat bukannya hewan kecil yang menggeliat-liat itu? hiiis, dikerudung?

"Aaaaah."
Gadis itu melonjak, berjingkrak-jingkrak berusaha mengkibas-kibaskan kerudungnya agar ulat yang menempel dikerudungnya segera jatuh.

Melihat tingkah gadis itu, bibir Syarif berkedut, menahan tawa tidak segampang yang dia kira.

"Berhenti."
Ucap Syarif.

"Tidak, tidak Kak. Ini ulat."
Aisya masih mengkibas-kibaskan kerudungnya tidak terkecuali dengan jingkrakannya.
"Aah ulat, pergilah.. Aku jijik tau gak sih."
Tambah gadis itu yang masih sibuk dengan hewan kecil yang tidak berniat untuk jatuh dari kerudungnya dan menghindar dari monster cantik seperti Aisya.

"Aku bilang berhenti."
Syarif mempertegas suaranya.
Aisya bisa apa? dia berhenti berjingkrak bahkan juga mengkibas-kibas kerudungnya. Sekarang dia hanya menjinjit ujung kerudungnya dan memalingkan wajahnya. Dia takut sekali dnegan hewan kecil itu.

"Sudah."
Ucap Syarif lagi.

"Ha? apa Kak?"
Tanya Aisya yang masih tidak mau menoleh. Takut pandangannya langsung tertuju pada ulat dikerudungnya.

"Sudah hilang ulatnya."
Syarif memperjelas.

"Benarkah?"
Aisya segera menoleh kekerudungnya yang lusuh karena tingkahnya sendiri. Dan dikain itu sudah tidak ada apa-apa. Laki-laki itu benar.

"Ulatnya sudah disini."
Syarif menyodorkan kayu kecil yang diujungnya ada ulat hijau tadi.

"Aaaah, buang buang Kak."
Aisya refleks mengelak kayu kecil itu dan jatuh ketanah.

"Dia juga makhluk hidup, coba saja kamu jadi sepertinya, dibenci dan dibuang oleh orang, kadang juga dibunuh. Apa kamu mampu?"
Syarif memperingatinya.

"Tidak.. Tapi aku takut Kak."
Jelas Aisya.

"Takut kalau difikiranmu sudah tertanam hal itu. Coba kalau fikiranmu itu diubah dengan rasa belas kasih. Mungkin kamu tidak akan tega melakukan hal itu."
Jawab Syarif.

"Baik baik, aku akan berusaha merubahnya. Tapi tidak secara langsungkan Kak?"
Elak Aisya yang tidak mau kalah.

Bukannya menjawab, laki-laki itu berlalu. Meninggalkan Aisya juga dengan pertanyaannya.

"Huu dasar, udah kayak ratu elsa saja. Kenapa tidak ikut main film frozen."
Gerutu Aisya yang tidak lama juga melangkahkan kakinya untuk segera keluar dari sekolah.

"Kenapa gadis itu tidak ikut main film Shrake."
Balas Syarif samar. Shrake? monster hijau itu kan? oh dia menghinaku.. Aisya kembali menggerutu dibelakang laki-laki itu.

"Aisya, lo kemana aja sih. Masak ampas yang lo keluarin banyak banget.."
Dan benar, gadis itu sudah mengomel, dan menghampiri Aisya duluan.

"Apasih lo, kecilin dikit dong lo ngomong ampasnya. Malu sama tuh."
Aisya menunjuk laki-laki yang berjalan menjauh deengan dagunya. Dan Adiva yang baru tahu siapa yang dimaksud oleh sahabatnya itu segers menutup mulutnya. Malu, malu sangat.

"Lo sih, ini gara-gara lo.. Kita ketinggalan angkot, smeua udah naik dan tinggal gue sendirian nunggu lo. Dasar emang, gak kasihan apa sama gue?"

"Iissh Adiva, apa lo juga gak kasihan sama gue nahan itu. Udahlah, kita tinggal balik kedepan gerbang dan nunggu angkot lagi. Gampang kan?"
Saran Aisya yang tidak mau ribut dengan sahabatnya itu. Bisa-bisa dis kalah.

"Yasudah ayok."
Gadis itu segera melangkahkan kakinya duluan, kemudian diikuti Aisya yang menyamai langkahnya disamping.
"Eh tapi kok lo sama Kak Syarif?"
Tanya Adiva yang baru sadar.

Aisya mendelik. Gawat.

****

Hai hai, cerita Aisya jarang banget diupdate. Maaf ya, ada yang nunggu nggak nih? wkwk.

Selamat tidur ya adek-adek yang besok sekolah. Hari senin loh, senin hhahaha...

Regards.

Umi Masrifah

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 17, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

AISYA (COMPLETE)Where stories live. Discover now