3. Ini Cinta?

Mulai dari awal
                                    

Kami tiba di pabrik satu setengah jam dari bandara. Pabrik Savior di Semarang berlokasi di tempat perindustrian, agak jauh dari terminal Terboyo. Hawa panas menyambut kami begitu kami keluar dari mobil. Kami membiarkan semua barang kami tetap berada di dalam mobil. Begitu masuk, kami langsung dibawa ke dalam kantor, yang alhamdulillah ber-ac. Di luar kantor, pendingin hanya disokong oleh kipas angin di beberapa tempat. Tidak cukup untuk mendinginkan suhu di dalam pabrik dimana hampir semua mesin menyala.

"Ya ampun Daniel." Seorang wanita bertubuh mungil, berkulit putih, langsung memeluk Daniel akrab. Tidak seperti team RnD yang memang kadang harus bepergian ke luar kota untuk meninjau pabrik, kami team marketing jarang melakukannya, kecuali ada project besar. "Tambah tinggi ya, sepertinya? Mbok ya di stop, sudah kayak tiang listrik." Daniel tertawa.

"Kalau Mbak Suci, kapan tingginya?" tanya Daniel. Suci, yang tadi ditanya Daniel hanya tersipu sambil mencubit pinggang Daniel genit. Dan entah mengapa, aku kurang menyukai gestur manja tersebut. Untuk alasan yang tidak aku ketahui. "Ini Acha, Mbak. QA dari Jakarta. Lalu Uki, team marketing." Aku menyalami Suci dan berusaha untuk tersenyum ramah. Setelah beristirahat cukup dan mengobrol. Lebih banyak Daniel yang mengobrol dengan Suci, dan Acha menelusuri dokumen sementara aku tidak tahu harus berbuat apa, karena ini bukan bidangku. Kami lalu dibawa berkeliling pabrik. Ada beberapa ruangan yang memiliki pendingin, karena produk yang diproduksi harus tetap dalam keadaan dingin selama proses, kami juga dibawa ke tempat labeling. Aku memperhatikan dalam diam, semua pekerja seperti tahu bagian mereka masing-masing.

Aku menoleh ketika mendegar suara tawa rendah itu. Daniel. Dia tengah mengobrol dengan salah satu ibu-ibu usia awal empat puluhan yang bekerja di divisi labeling. Ibu itu meminta maaf karena salah mengira Daniel adalah artis ftv yang sedang melakukan peninjauan. Yang membuatku terkejut, Daniel tidak keberatan ketika ibu itu meminta foto bersama. Bahkan saat ibu itu dengan akrab memeluk pinggang Daniel, Daniel tidak nampak risih. Ini betulan Daniel yang aku kenal atau dia adalah replika dari masa depan? Aku kira, Daniel tidak mau bergaul dengan rakyat kaum bawah. Melihat barang-barangnya yang selalu branded, mobil pajero putih menterengnya, jarang mau ikut makan bersama di kantin kantor, membuatku berasumsi bahwa Daniel hanyalah anak orang kaya yang kebetulan iseng ingin bekerja hanya demi membunuh waktu. Aku tidak siap menghadapi Daniel yang begitu supel dan ramah, seperti yang aku lihat saat ini. Terlebih, aku tidak menyukai Suci yang begitu menempel pada Daniel seperti ada lem di tubuh mereka berdua.

***

"Complicated juga ya Cha?" Daniel mengambil gula dan creamer secara bersamaan. Menambahkannya secara kurang ajar ke minumannya. Sepertinya, walaupun Daniel lulusan Teknologi Pangan, tidak membuatnya serta merta menjadi bijak dalam memasukkan kalori serta kandungan gula ke dalam tubuhnya.

"Ini sebenarnya miskom saja, kok Dan," jawab Acha sembari menggeser letak laptopnya, memberi ruang untuk Daniel meletakkan kopinya.

"Iya, tapi jadi kerja double kita."

Oke, aku tidak boleh hanya diam. Walaupun aku sama sekali tidak mengerti topik pembicaraan mereka. "Emang udah ketemu sumber permasalahannya?" tanyaku pada akhirnya. Aku tidak ingin hanya menjadi pendengar saja di sini. Daniel menoleh ke arahku dengan ekspresi sedikit kaget. Seolah-olah tadi aku tidak berada di sini.

"Setting mesin di pabrik Semarang berbeda dengan setting mesin di pabrik Jakarta, Ki."

"Kok bisa?"

"Mereka menambah tingkat suhunya lebih ekstrim tapi dengan waktu yang lebih singkat. Hasilnya? Memang secara standar kadar air masih masuk. Tapi tidak awet dalam jangka panjang. Buktinya baru delapan bulan sudah timbul bau tengik. Padahal masa pakai seharusnya bisa satu tahun."

BOTTOM (New Edit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang