"Apa maksudmu, Thomas?" tanyaku lirih, aku membiarkan air mata membanjiri pipiku. Aku tidak peduli dengan tatapan orang-orang. Perhatianku sepenuhnya jatuh pada pria di hadapanku, pemilik hatiku.
"Apa semua kurang jelas, Grace? Aku tidak bisa lagi menghadapi sikapmu. Kau dan kecemburuanmu!" teriak Thomas tepat di hadapanku.
Rasanya hatiku seperti dicabik, aku kehilangan napasku. Dadaku terhimpit dan lidahku kelu. Rintik hujan seperti membalutku dalam perih, Thomas enggan melihatku. Dia benar-benar yakin dengan ucapannya. Matanya bertemu dengan mataku, tatapan tak terbaca itu lagi, tatapan yang selalu terpampang saat ia marah. Tak mampukah ia melihat penyesalan dalam mataku?
"Kemarilah." Thomas menarikku dalam dekapannya.
Terasa hangat, walau kami berada di tengah serbuan hujan. Aku mendekapnya, menariknya lebih erat, enggan melepaskan. Aku dapat merasakan jantungnya yang berdetak teratur, jauh berbeda denganku yang bahkan tak menentu. Oh Tuhan, masih adakah rasa itu? Kami diam dalam hening yang menegangkan, sampai akhirnya dia memecah kebisuan.
"Maafkan aku, aku harus mengakhiri semuanya. Kau akan tetap baik tanpa aku. Goodbye, Grace."
Rangkaian kalimat itu ia bisikkan lembut, suaranya yang bagai beludru terasa lebih tajam dan menyakitkan dari hantaman hujan yang menerpa kulit pucatku. Tubuhku kaku saat dia melepaskan pelukannya. Batinku berteriak, tapi rasanya lidahku kelu.
Inikah perpisahan? Aku diam, bukan karena aku ingin, tapi karena aku tak mampu mengendalikan tubuhku. Aku lumpuh dan bisu, mataku buram dan aku hanya mampu menangkap bayang punggungnya yang perlahan menghilang. Aku kehilangan dia, segalanya hancur begitu saja. Sakit ini semakin menjadi, seperti ada rongga besar, sarang akan luka yang menganga, sakit ini menjalar keseluruh tubuhku. Terlalu sakit hingga aku kaku.
All the things that we've lost
Breaking off comes at a cost
And know I miss this mistake
Every word I try to choose
Either way I'm gonna lose
Can't take the ache from heartbreak
****
Aku bersenandung sendu, lirih melantunkan isi hatiku. Mataku menatap lekat sosok beku yang ada di hadapanku, ia terbingkai dalam pigura kayu. Di sana terlihat tawanya yang abadi dan tak akan pernah kulihat lagi, di sana terlihat kasihnya yang ia curahkan dalam dekap hangat untukku. Namun, Thomas telah memilih untuk pergi.
Tanpa sadar kristal bening telah menghiasi pipiku. Dadaku berdesir ngilu dan jantungku seperti dipacu. Kialasan kejadian menyenangkan kembali terlukis di kepalaku dan membutakanku. Sudah beberapa bulan dan sakit itu masih begitu nyata.
No matter how it falls apart
There's an "art" in breaking hearts
Aku sadar, selalu ada kebaikan dalam setiap kejadian yang menimpaku.
But there's no fair in farewell, no.
Rasanya hanya sakit yang menyayat. Yang terlihat hanya pedih dan luka saat dia meninggalkanku. Samasekali tidak kulihat keadilan, ini keinginannya, bukan aku. Aku tidak akan pernah bahagia atas ini.
Aku menghela napas panjang, berharap sesak ini melebur bersama sejuk. Aku memilih untuk bangkit dan mencari udara segar, kuraih jaket dan mengenakannya.
Awan mendung menggantung, memayungiku. Dengan pasti, aku melangkah menuju taman, langit seolah menjagaku dengan sendunya. Kakiku menuntunku menuju tepian sungai kecil. Mataku menyapu sekitar, mencari tempat yang nyaman. Namun pandanganku terhenti pada sosok yang ku rindukan.
Thomas duduk diam di salah satu bangku taman, dari sudut ini aku hanya mampu menangkap bahwa ia baik, jauh lebih baik dariku. Aku terdiam dan hanyut dalam kenanganku, kunikmati pilu yang menjalar dan menggerogotiku. Aku mencoba mengumpulkan udara sebelum aku mati karena siksanya, namun yang kudapati adalah isakan.
Kakiku menuntunku maju, aku memberanikan diri untuk menemuinya. Dengan kuat, aku meremas ujung kaos yang kukenakan.
"Thomas!"
Aku menahan napasku. Mataku menangkap sosok gadis yang berlari ke arah Thomas. Paras jelita dan senyum hangatnya membuatku sadar, aku bukan apa-apa.
Thomas bangkit dan tersenyum lebar, matanya terpancar kerinduan yang terbalas. Segera, tanoa aba-aba, mereka menenggelamkan diri dalam hangatnya dekap, sesuatu yang lama hilang untukku.
Air mataku mengalir semakin deras, aku mundur dan menyembunyikan diriku di balik pohon yang aku yakin tak mampu menutupiku. Sakit, sayatan ini terasa semakin lebar, Thomas telah menabur garam di atas lukaku.
Aku kembali menatap Thomas dan gadis itu, mereka merajut hangat tawa bersama, tidak menyadari bahwa ada satu hati yang terluka di sini. Perlahan mereka berbalik dan melangkah pergi, tak ada celah di antara keduanya. Thomas merengkuh gadis itu erat. Thomas meremas hatiku dengan sempurna.
Ini kah yang namanya kebaikan dalam sebuah perpisahan? Kenapa aku hanya merasakan segala kepedihan yang menyiksa? Aku bukan lagi pemilik hatimu, aku bukan lagi tujuan dalam hidupmu. Aku tidak lagi melihat kita yang dibungkus dengan kepercayaan. Semua telah karam dan menguar.
Yang bisa kulakukan adalah melihatmu punggungmu perlahan menghilang dan mendoakan segala kebaikan.
***
When I see you in the street
I pray to God you don't see, the silent "hell" in "I wish you well.
But as you walk away, you don't hear me say
Where's the "good" in "goodbye"?
Where's the "nice" in "nice try"?
Where's the "us" in "trust gone"?
Where's the "soul" in "soldier on"?
Now I'm the "lone" in "lonely"
'Cause I don't own you only
I can take this mistake
But I can't take the ache from heartbreak
***
a/n
Aku baru sekali bikin song-fiction, dan aku tahu ini gagal.
:'
Ini aku dedikasikan untuk penulismimpi
Salam sayang,
A.
