Third Chapter

18.2K 1K 148
                                        

Joshua Daniel Pradipta
***

Jam lima sore, dan gue masih didepan gerbang sekolah gue. Tadi koh Daniel BBM bakalan menjemput gue. Gue pikir, daripada gue harus pulang duluan buat ganti baju dulu, mendingan gue nunggunya disini saja.

Jadi, koh Daniel mau ngajakkin gue buat fitting baju. Dia ngajakkin gue buat kembaran sama dia dan pacarnya, kak Uki.

"Kok lo belum balik Be?" Ale, menepuk pundak gue sambil tersenyum. Dia memang manis. Sejak Andini-gue masih enggak mau ngomong sama dia karena mulut kurang ajarnya menghina koh Daniel-mengatakan kalau Ale manis, gue jadi lebih sering memperhatikan teman sebangku gue ini. Dan yah, dia memang manis.

"Lagi nunggu jemputan Le."

"Lha tumben? Bukannya biasanya lo dianter doang? Baliknya sendiri?" Ale menatap gue, "Mau gue temenin?" Tawarnya. Dia berani kayak gini karena enggak ada kehadiran Timo sama Andini. Timo, lebih condong ke Andini. Walaupun dia masih mau ngobrol sama gue. Tetapi sudah agak beda. Agaknya hubungan kita bertiga retak perlahan. Gara-gara hal sepele.

"Boleh. Elo sendiri kenapa belom balik?"

"Habis ngebasket. Bentar lagi kan ada pertandingan antar sekolah."

Gue manggut-manggut sok ngerti. Dibandingkan dengan Ale, Timo ataupun Andini, gue ini yang paling pasif tentang ekstrakurikuler. Gue enggak join ekstrakurikuler satupun.

Enggak basket, kayak si Ale. Ngomong-ngomong soal basket sekolah gue punya kapten basket ganteng, Kak Denny. Cool dan lumayan galak. Walaupun gue enggak kenal-kenal amat sama doi, tapi dia emang populer banget. Anak-anak perempuan kelas satu dan dua disini suka agak gila kalau dia lewat. Kadang sendiri, kadang sama Gani. Temen deketnya.

Timo, dia join Rohis. Ini gue serius. Enggak lagi melempar joke atau lagi pengen becanda garing. Alasannya, jelas bukan karena banci laknat yang obsesi kepengen ngisep tititnya Taylor Lautner itu pengen mendekatkan dirinya dengan yang Maha Kuasa. Tetapi lebih karena dia nge ship pasangan yang dikira homo oleh Timo, Radit-Risky. Gue selalu ngelus dada kalau Timo mulai bercerita betapa adorable-nya pasangan satu ini. Padahal dipikiran gue, enggak mungkin mereka pacaran. Gue pernah memperhatikan mereka berdua, mereka biasa saja kok. Akrab memang, namun masak anak yang sangat alim macam Risky, you know? Aku masih kurang percaya. Well, itu menjadi urusan mereka para kakak kelas lha ya. Waktu gue protes kalau bisa saja mereka berdua ini cuman temen deket, Timo mencibir, "Elo kan gay radarnya emang udah menopouse Be, jadi enggak bisa di andelin." Kurang ajar kan? Lewat masa subur aja belum, masa gue udah dibilang menopouse?

Andini? Dia mengikuti klub sepak bola. Semacam menjadi asisten atau apalah. Gue enggak begitu tertarik, kecuali dengan Kak Beno yang akhir-akhir ini udah jarang aktif di klub karena sudah kelas tiga. Beno-Gani, kalau yang ini gue yakin mereka memang pacaran. Gue pernah memergokki mereka keluar dari bilik toilet yang sama. Padahal yang lainnya kosong. Gue selalu suka sama style-nya Kak Beno. Bukan suka seperti naksir, lebih ke kagum. Alasannya? Dia bisa selalu tampil keren, padahal masih pakai seragam, sama kayak gue dan anak-anak lain.

"Apalagi, sekarang lagi dalam masa-masa penting." Kata Ale sekali lagi karena gue masih aja diam.

"Masa-masa penting, kenapa Le?"

Ale, ikut duduk disamping gue. Ada kursi yang terbuat dari beton disini. Dengan cat hijau muda. Biasanya digunakan untuk sekedar nongkrong enggak jelas. Atau nungguin bus sekolah atau jemputan macam kayak gue.

"Pergantian tim inti. Anak-anak kelas tiga kayak Kak Denny kan mau fokus buat UN, mulai semester dua ntar."

"Jadi mereka mau keluar dari klub gitu?"

PROBLEMATIC (End)Where stories live. Discover now