Bukan Cuma Nonton TV

229 21 3
                                    

Uname: loluji

Genre: General Fiction 


Dimas menaikkan kaki kirinya ke atas kursi. Remote tivi dicengkeram erat, sambil kening kian lama kian berkerut. Di hadapannya, layar tivi 21 inchi yang sudah ketinggalan zaman itu masih asik menampilkan berita dengan tokoh orang berompi oranye yang sedang pamer senyum tak bersalah. Dimas menggelengkan kepala, entah sudah berapa kali dalam satu jam terakhir. Sesekali remaja itu mendecakkan lidahnya, pertanda kesal. Juga tiap kali ia selesai mendumal, bibirnya akan ikut maju beberapa senti dan mengerucut. Menambah kesan muram dalam wajahnya.

"Dimas, dibilangin kalau duduk yang sopan! Turunin kakinya sekarang!"

Itu suara mama, wanita yang paling berkuasa di kehidupan Dimas. Bahkan hak-hak yang dimiliki mama melebihi hak presiden dalam mengatur kelakuan Dimas. Pokoknya mama itu pemegang kekuasaan legislatif, eksekutif, serta yudikatif di rumahnya. Bayangkan, betapa besar kekuasaan mama! Meskipun begitu, sebagai rakyat kecil Dimas memberanikan diri untuk membantah. Sekali-sekali ia harus menyampaikan aspirasinya. Betul tidak?

"Dimas!"

"Iya, Ma! Sebentar!"

"Heh! Udah berani ngeyel ya, kalau dikasih tahu sama orang tua?"

"Aduh, Ma! Cuma kaki ini!"

"Turunin kaki atau matiin tivi?"

Dimas menghela napas panjang. Begini yang terjadi, kalau mama mulai susah diajak negosiasi. Bisa-bisa ritual nonton berita pagi dicabut izinnya, lalu diganti dengan omelan mama selama satu jam ke depan. Bergidik dengan pemikiran itu, Dimas pun memutuskan untuk menurut dan menurunkan kakinya. Ia lantas membenarkan posisi menjadi duduk tegak dengan jarak mata dari tivi sesuai dengan standar yang telah ditentukan mama.

"Kamu nonton apa sih, Dim? Serius banget."

Dimas menghela napas panjang. Kalau makhluk yang ini memiliki derajad yang sama dengannya, sama-sama rakyat kecil di rumah ini. Namun mengingat rekam jejak pertengkaran di antara mereka, Dimas rasa mencengkeram remote lebih erat adalah suatu tindakan yang bijak. Daripada nanti rebutan?

"Udah, ikut nonton aja. Nggak usah banyak cingcong."

Alisia merebahkan punggung pada sandaran kursi, ikut menyimak breaking news yang berhasil membuat saudaranya duduk seperti patung sejak tadi. Gadis itu ikut mengernyit tatkala berita yang ditayangkan berhasil mencubit otaknya. "Ada-ada aja ya. Gimana negara bisa maju coba kalau kayak gini?"

"Kalau isinya tukang tidur di kelas semacam Lilis, udah pasti nggak bakal cepat maju."

"Sialan kamu, Dim!" Alisia atau yang biasa dipanggil Lilis itu mendengus kesal. Namun kesal pun, gadis itu tetap meneruskan komentarnya. "Kalau semua orang yang ketahuan salah nggak mau ngaku salah, mau jadi apa coba negara ini?"

Dimas manggut-manggut. Miris memang. Dalam era yang dulunya diperjuangkan mati-matian ini, justru marak tindakan nyeleweng yang sama sekali tidak menunjukkan etikad untuk menghargai kebebasan yang telah diraih. Padahal jika dipikir kembali, orang-orang yang menjadi artis acara berita itu sudah hidup di dua era. Orang-orang itu juga yang merasakan bagaimana perbedaannya. Dan bukankah mereka juga yang memprotes dan memperjuangkan semuanya?

Dimas berdeham. "Namanya juga manusia, Lis."

"Tapi seharusnya nggak gitu, Dim."

"Namanya juga manusia, Lis!" Dimas menekankan. "Khilaf itu udah semacam nasi, makanan pokok sehari-hari."

"Iya, sih. Tapi bukan berarti karena khilaf lalu kita harus memaklumi." Alisia menggelengkan kepala. "Aduh, berat kalau mikirin yang kayak gini!"

Dimas tak menanggapi. Ia kembali mendalami apa yang disiarkan, membuat suara tivi menjadi satu-satunya pengisi sunyi. Sesekali desis minyak goreng terdengar nyaring dari dapur, membuat Dimas mengingat mama yang sudah sibuk menyambung hidup. Kalau sudah ingat mama, ia selalu mengingat masa depannya. Karena bagaimana rupa masa depannya nanti menentukan masa depan mamanya juga. Dimas tidak mau di usia senjanya nanti Sang Mama masih bergelut dengan semua kesibukannya saat ini.

Ah, Dimas jadi galau sendiri. Ternyata sebagai remaja, ada banyak hal yang harus ia pikirkan. Karena setelah dipikir kembali, ada banyak masa depan yang harus ia perjuangkan. Masa depan mama, masa depan negara, masa depan dunia, dan tentunya masa depannya sendiri, semua itu harus ia persiapkan mulai dari sekarang. Padahal selama ini, Dimas lebih suka leha-leha sambil nonton catur di pos ronda daripada mengerjakan tugas sekolah yang sudah menanti di meja belajar.

"Susah, emang susah," celetuk Dimas tak sadar.

"Apanya yang susah, Dim?"

"Anu...." Dimas mengerjap. "Apa, sih? Ah! Itu, anu..."

Lilis mengernyit. "Anu apa? Bengong ya, Dim?"

"Itu," Dimas berkata, "Susah ternyata seusia kita ini. Harus serius mikirin masa depan. Kalau enggak siap, bisa apes deh."

"Iya, tumben kamu bener."

Lilis menarik napas panjang. Ia jadi ingat ujian sudah di depan mata. Kalau persiapannya kurang, masa depannya bisa jadi taruhan. Apalagi kalau ingin diterima di universitas elit, Lilis harus benar-benar super dalam mempersiapkan semuanya. Salah sedikit, bisa meleset semua target hidupnya. Tentu saja Lilis tidak mau itu terjadi, tetapi ia juga masih sulit merealisasi niatnya untuk fokus dan lepas dari gelar "Putri Tidur di Kelas". Jangankan fokus, ia saja masih tidak bisa menahan iming-iming kantuk ketika guru mulai menerangkan. Lilis menggelengkan kepala lagi. Ternyata kalau hidup itu memang harus serius.

"Ah, gimana ya, aku aja masih suka tidur di kelas." Lilis tertawa kecil. "Aduh, kalau mama dengar bisa habis aku!"

"Makanya kalau malam jangan nonton sinetron sampai larut!"

"Dih, padahal situ yang main catur sampai pagi di pos ronda."

"Lho, 'kan cuma malam Minggu. Nggak apa dong, Lis." Dimas berdalih. Cowok itu mengembuskan napas berat sebelum kembali berkata, "Masa depan itu ... menurutmu gimana sih, Lis?"

Lilis tampak berpikir. Gadis itu mengulas senyum tipis, kemudian mengubah posisinya agar lebih jelas melihat Dimas. "Masih abstrak, Dim," ujarnya sambil tertawa. "Tetapi yang jelas, aku pengin masa depan yang baik. Ya, seperti yang diharapkan semua oranglah." Ia melanjutkan, "Kamu sendiri gimana? Ingin bisa apa di masa depan?"

"Aku ingin masa depan yang asik, Lis. Bisa ini, bisa itu...." Dimas memberi jeda. "Yang jelas aku juga ingin bisa membahagiakan mama. Masa depanku, masa depanmu, masa depan kita 'kan otomatis menentukan masa depan mama."

Lilis mengerutkan kening untuk kemudian menjerit tertahan, "Ih! Dimas serem kalau lagi serius!"

"Lebay kamu, Lis!" Dimas terkekeh. "Tapi bener 'kan?"

Lilis mengangguk cepat. "Bener, bener. Karena itu kita harus bisa serius ya, 'kan? Soalnya masa depan kita itu memengaruhi dan dipengaruhi banyak aspek." Gadis itu pun segera mengambil remote yang entah sejak kapan sudah diletakkan Dimas di antara mereka. Langsung saja ia mematikan tivi. Lalu sambil tersenyum Lilis berkata, "Nah! Ayo jangan cuma nonton tivi!"

"Lilis! Kenapa dimatiin, sih? Itu belum kelar breaking news-nya!"

"Lho, Katanya mau bikin Mama seneng?" Lilis menarik tangan Dimas, menyuruhnya berdiri. "Kalau gitu, ayo bantu Mama nyiapin warung!"

-SELESAI-



Masa DepanWhere stories live. Discover now