BAGIAN 1

12.2K 241 7
                                    

BAGIAN 1

Andrea duduk di sebuah coffee shop di kawasan pusat perbelanjaan, Jakarta. Ia menyeruput kopinya; latte dengan es krim dan buah strawberry di atasnya. Lalu mengibas rambutnya ke belakang. Rambutnya lurus, lebat dan berkilau, menjuntai panjang hingga ke pinggangnya. Rambut itu tetap dipertahankannya untuk tetap panjang, sebagaimana yang diminta Gerald, calon suaminya yang akan menikahinya seminggu lagi. Itulah yang selalu diingatnya.

Andrea mengangkat telepon genggamnya yang berbunyi.

“Sayang”, katanya menyambut, “aku udah mendapatkan semua kebutuhan kita untuk pesta kita nanti. Seperti yang kamu mau, pesta kecil yang romantis di pulau terpencil. Kapan kamu pulang ke Indonesia?”

Andrea terdiam, tampak mendengarkan. “Tiga hari lagi?”, sahutnya sambil melengos. “Kenapa akhir-akhir ini, kamu sibuk banget? Sampai-sampai, baru sekarang sempat mengabari aku? Padahal seminggu lagi, kita akan merit.”

Kemudian Andrea terdiam lagi. Ia kembali mendengarkan sambil menggigiti bibirnya yang mungil seperti cherry, yang terpulas lipstick glossy berwarna natural. Matanya mengerjap-ngerjap, membuat bulu mata lebatnya itu mengibas turun-naik. “Kita bisa pesta di sana dengan dana yang tidak terlalu besar, sayang”, sahut Andrea kemudian, “ada promo tempat wisata baru di situ. Ada beberapa pasangan yang juga akan melaksanakan pestanya di sana, di waktu yang bersamaan.”

Andrea menghentikan kalimatnya sambil menyeruput kopinya kembali. SRUUUP… ia mereguknya dengan mata memejam, begitu menikmatinya. Lalu membuka matanya lagi, sekaligus membuka mulutnya kembali…

“Tamu undangan cuma kerabat dan temen-temen deket”, kata Andrea lagi sambil menerawangkan matanya, “kita gak punya banyak kenalan. Bagaimana dengan kenalan kamu? Siapa-siapa aja yang mau diundang? Waktunya udah deket, tapi kamu gak berpartisipasi sama sekali, sampai sekarang…” Andrea mengakhiri kalimatnya sambil melengos lesu. Ia terdiam lagi dan tampak mendengarkan kembali. Lalu bersuara untuk menyahuti, “Kenapa sih, kamu merahasiakan pernikahan kita dari semua relasi dan temen-temen kamu?” Andrea sudah mengerucutkan bibirnya lalu memainkannya dengan menggerakkannya ke kiri dan ke kanan. “Ya, udah lah”, katanya kemudian. “Tapi… bagaimana dengan Oom dan tante kamu? Mereka mau jadi wali, kan? Berhubung orang tua kamu udah…” Ia tak meneruskan kalimatnya.

Andrea terdiam lagi dan mendengarkan kembali. “Kenapa cuma aku yang repot urusin semuanya, sih?”, katanya kemudian, “meskipun kamu sibuk, bukannya ini… pernikahan sekali dalam seumur hidup kita???” Nada suaranya sudah meninggi. Ia melirik ke meja di sampingnya. Seorang laki-laki sebayaan dengannya, duduk manis di situ dengan lembaran surat kabar terbentang di depannya. Ia berkulit putih bersih dengan tampilan metroseksual, wajah klimis, potongan rambut pendek dan trendy, kemeja konservatif dengan padanan denim krem dan sepatu casual berwarna senada dengan celananya itu. Ia melirik Andrea sambil memulas senyuman tipis di sudut-sudut bibirnya yang merah dan terlihat sehat. Di hadapannya, tersaji segelas juice mangga segar.

Andrea cepat-cepat memalingkan wajahnya. Ia mengingat kalau dirinya akan menikah seminggu lagi dan tidak berminat untuk membuka celah sedikitpun terhadap perkenalan baru dengan laki-laki manapun.

“Ya, udah”, Andrea menyahuti di telepon genggamnya lagi kemudian menekan salah satu tombolnya, mematikan teleponnya. Ia hendak meletakkan telepon genggamnya itu ke atas meja namun benda itu terselip lepas dari tangannya dan terjatuh ke bawah.

PRAK!

Andrea membekap mulutnya dan cepat-cepat membungkuk untuk memungut teleponnya kembali. Tetapi tangan seseorang sudah mendahuluinya.

“Ini, hape kamu…”, kata laki-laki yang tadi duduk di meja samping. Andrea terhenyak dengan posisinya yang masih membungkuk. Ia menatap lurus ke mata laki-laki yang sudah setengah berlutut di tepian mejanya.

“Tadi… teleponan sama siapa?”, tanya laki-laki itu. Ia tersenyum dan memperlihatkan sederetan giginya yang kecil-kecil serta putih.

Andrea mendengus. Ia tidak menjawab apapun selain “Terima kasih”, sambil menerima apa yang disodorkan padanya.

“Hape kamu… butuh dicharge. Soalnya… mati”, kata laki-laki itu lagi.

“Ah?”, Andrea bersuara dengan mata membesar. “Mungkin karna jatuh kali, ya”, katanya, setengah menggumam. Matanya menelusuri setiap bagian dari telepon genggamnya itu.

“Saya Remy”, laki-laki itu memperkenalkan dirinya, “kita tinggal di kawasan perumahan yang sama, loh…” Tangannya sudah tersodor kembali ke arah Andrea.

Andrea mengerenyitkan keningnya. Ia tidak menyambut sodoran tangan itu. “Maaf”, katanya, “Anda salah orang.” Ia bangkit berdiri dan langsung saja menyambar tasnya lalu melangkah pergi dari situ.

“Sombong sekali…”, sebuah lontaran menyambar telinga Andrea ketika ia memulai langkah pertamanya. Langkah itu pun terhenti. Ia menoleh cepat ke asal suara dan melihat laki-laki yang bernama Remy tadi, masih memulas senyuman ke arahnya.

“Anda bilang apa, barusan?!” Andrea memekik tertahan.

“Apa?”, tanya Remy sambil mengerenyitkan keningnya.

“Saya denger, loh!”, sahut Andrea, bersikeras.

“ng… apa, ya?”

“Anda bilang apa, tadi?!”

Kening Remy berkerenyit dan bibirnya terkulum ke dalam. “Beneran, saya gak ngomong apapun”, sahutnya. Ia memutar matanya berkeliling. Lalu menatap Andrea lagi. “Mungkin aja, kamu salah denger?”, sambungnya.

“Saya mendengar sesuatu. Bukannya salah denger! Kalau salah denger, maksudnya enggak denger atau denger lontaran yang salah?!”

Remy mematung dengan dahi berkerut-kerut, berpikir. “Bisa dua-duanya”, katanya.

Andrea mendengus sambil meneruskan langkah kakinya kembali. Dan sesampainya ke tepian jalan, ia tidak menyadari kalau yang bernama Remy mengikutinya, dengan menjaga jarak sekitar tiga meter di belakangnya. Remy melihatnya melekatkan telepon genggamnya kembali ke telinga, seraya berceloteh, “Sayang… kamu pasti gak akan percaya, apa yang baru aku alami tadi…”

Remy memperlambat langkah kakinya sambil menyusupkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ia menatap Andrea dengan kedua alis yang hampir bertautan ke pangkal hidungnya…

Bukannya gue udah bilang sama dia tadi, hapenya… mati?, ia membatin.

***

Gigitan PertamaWhere stories live. Discover now