Dua

5.3K 230 7
                                    

-Ku persembahkan salah satu ruang dimensi dunia ku pada kamu sekalian-

Enjoy it!


"Du...du...du..." Senandung kecil dari bibir seorang gadis muda mengikuti irama lagu yang sering diputar setiap pagi di sekolahnya. Dia tidak begitu suka dengan lagu mars sekolahnya itu namun kebiasaan mendengarnya setiap pagi membuat gadis muda ini tanpa sengaja menyenandungkannya. Ia tidak begitu peduli dengan lagu yang sedang ia dendangkan. Apapun yang lagu yang melintas di kepalanya saat ini akan ia nyanyikan untuk menyambut hari karena suasana hatinya saat ini dalam keadaan bahagia.

Dia, Sybilla Luna Herman, empat belas tahun, seorang murid kelas dua Sekolah Menengah Pertama. Namun tubuhnya lebih dulu dewasa daripada umurnya. Diumur yang baru empat belas tahun, umur yang baru menginjak masa puberitas, umur yang baru dua puluh empat kali merasakan apa yang namanya menstruasi, diumur segitu tubuhnya sudah tumbuh tinggi dengan kaki yang jenjang, garis rahang yang ramping dan dagunya berbelah seperti buah apel.

Billa memasuki pekarangan kantor polisi tempat ayahnya bekerja masih dengan senandung yang tak kunjung henti. Sekolah yang hanya berjarak beberapa ratus meter dari kantor polisi membuatnya selalu kekantor itu saat pulang sekolah menemui sang ayah yang super sibuk. Dia bangga akan ayahnya. Namun terkadang kesal karena ayahnya terlalu sibuk dengan kasus-kasus sehingga tidak memperdulikan dirinya.

"Wah... juara lagi ya, Bil?" Seorang polisi di meja administrasi menyapa Billa yang masuk tanpa canggung.

"Iya Om, hehe...." Billa tersenyum pada polisi muda itu lalu berlari ke ruangan ayahnya ingin memamerkan tropi yang ia peroleh, namun tidak ada seorang pun di dalam ruangan tersebut.

"Billa?" Seorang polisi lain memanggil Billa dari pintu yang terbuka lebar– setelah memasukan pistol kedalam sarung dipinggangnya –memandang gemas kepada gadis muda yang menoleh ke kiri dan ke kanan sehingga rambut ekor kudanya yang dikuncir bergerak mengikuti arah pandang gadis itu.

"Oh Om Is... Om lihat papa nggak?" Setengah berlari Billa mendekati Iskandar.

"Papamu sedang di ruangan pimpinan, kamu mau Om temani menunggu papa?"

"Hmm..." Kepala gadis itu mengangguk setuju. Dia gadis yang suka bicara, jadi agak tidak menyenangkan rasanya jika menunggu dan sendirian. Iskandar menggiring gadis itu pada sebuah sofa lusuh di dalam ruangan.

"Om habis menangkap penjahat ya?" Lelaki itu mengangguk.

"Sama papa juga?" Ia mengangguk sekali lagi.

"Kereeenn!" Billa memandang lelaki di hadapannya berbinar.

"Billa mau jadi polisi juga kalau sudah dewasa?"

"Polisi itu keren Om, tapi Billa nggak mau jadi polisi. Soalnya papa selalu saja sibuk nggak ada waktu untuk Billa. Billa mau jadi dokter aja agar bisa memastikan papa sehat. Kalo papa pulang luka-luka Billa bisa ngobatin." Iskandar mengacak rambut gadis itu dengan tersenyum hangat. "Eh... om Is, itu Papa...."

Billa menghampiri dan memeluk ayahnya. Tingginya sekarang adalah sedada sang ayah. Cukup tinggi untuk ukuran anak berumur empat belas tahun.

"Hari yang berat, heh?" Iskandar menepuk bahu Herman dan meninggalkan ayah dan anak itu. memberi ruang privasi pada keduanya.

"Pa, lihat... Billa juara lagi." Billa memamerkan tropinya kepada Herman dengan membusungkan dada.

"Wah... anak papa pintar sekali." Herman mencium perempuan satu-satunya dan memeluk gadis itu menuntun ke meja kerjanya. Billa seorang gadis piatu. Ibunya meninggal sejak ia lahir, karena itu dia tidak tumbuh menjadi gadis yang manja. Tinggal dengan ayah yang sibuk membuat Billa harus bisa melakukan pekerjaan rumah tangga.

HALUNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang