Part 1

17K 469 0
                                    

Please this is first part yuhuuuuuuu!!!
Ayo lo ayo lo yang kepengen cerita kaya2 All Of Me, please stay in this new story. Kenapa? Ini adalah cerita yang aku buat menyerupai jalan cerita All Of Me. Banyak bumbu percintaan, banyak pertanyaan2, banyak teka teki, banyak rahasia, banyak kebingungan. Cocok banget buat yang suka All Of Me.
So check it out ya!!
*btw without sex!*

Kakiku berjalan dengan gerak standar menuju lift didepanku. Sesampai didepannya aku langsung memencet tombol delapan, dimana kamarku berada. Saat pintu terbuka, aku masuk kedalamnya.
"Jadi kamarmu lantai berapa?"
Aku menoleh kesisiku. Menghembuskan nafas pelan, menyadari aku tidak sendiri disini.
"813," jawabku singkat.
"Hm, pilihan hotel yang bagus," ucapnya lagi sambil melipat tangan didepan dadanya dan menyandarkan punggungnya ke dinding lift yang kupastikan dingin bertemu kulitnya yang terbuka.
Kenapa Pak Bowo sengaja memberikan wanita ini padaku? Memberikan hadiah atas kerja sama apanya?
Keheningan menyelimuti kami. Mataku masih memandang lurus ke pintu yang kuharapkan segera terbuka. Pantulan diri kami terlihat sangat kentara disana.
Tanpa kusadari wanita itu maju kedepan dan berdiri tepat disampingku. Tangannya menyentuh bahuku membuatku menoleh padanya. Matanya kini menatapku tajam dengan senyum aneh dibibirnya. Aku menyipit, menunggunya mengatakan sesuatu.
Tapi yang terjadi selanjutnya adalah dia berlutut didepanku. Tangannya yang tadinya berada dibahuku, turun dengan cepat ke arah pinggangku. Tersentak, aku bergerak mundur tapi ditahan oleh tangan itu.
"Aku tau kau sudah tidak sabar untukku basahi," katanya dengan nada tajam dan masih dengan mata yang sama menantangnya.
Disaat ini jantungku berdetak cepat. Keringat dingin perlahan mulai membasahi dahiku. Secepat mana jantungku bekerja, secepat itu pula tangan wanita itu bekerja. Tangannya sudah berada diresleting celanaku.
Dia bekerja tanpa menoleh padaku. Tanpa meminta izin apapun. Entah bagaimana, diriku begitu pula tidak ingin mengeluarkan penolakan. Ingin berteriak padanya untuk menjauh atau mendorongnya agar tidak menyentuh lagi batang kehidupanku yang mulai...
"Hoek!"
***
Aku menarik selimut putih tebal itu semakin tinggi ke lehernya. Wanita itu menggeliat sedikit mencari kenyamanan di ranjangku. Aku mendesah pelan, lalu bangkit berdiri setelah memastikan dia tidur dengan lelap.
Kutinggalkan dia tidur diranjangku dan aku menuju kamar mandi. Selangkah baru memasuki kamar mandi, aku langsung membuka kemejaku. Meluruhkannya ke lantai bersamaan kain-kain kotor lainnya yang terkena muntahan wanita tadi.
Aku tidak sampai habis pikir bagaimana cara kerja wanita itu. Aku menerka-nerka hal ini keberapa kalinya dia memuntahi kliennya sendiri. Aku tidak bisa membayangkan reaksi kliennya itu.
Pindah ke pancuran, aku menghidupkan air hangat. Air itu mengalir membasahi tubuhku sekarang. Membuat tubuhku yang tegang menjadi rileks kembali. Setelah ini aku ingin segera cepat tidur bergelung dengan selimut sampai terbangun esok pagi. Ah sial, kalau wanita itu tidur di ranjangku, aku tidur dimana?
***
Matahari pagi mengusik tidurku. Aku menggeliat lalu membuka mataku. Merenggangkan tubuhku yang terasa penat karena tidur disofa semalaman. Kududukan tubuhku dan menoleh keranjang. Wanita itu masih tidur dengan nyenyak. Ah, wanita malam pemalas.
Aku bangkit. Lebih baik aku memesan sesuatu untuk sarapan kami nanti. Setelah mencuci muka dan menggosok gigiku, aku menuju telefon di nakas sebelah ranjang.
Ku tekan tombol yang diberi petunjuk petugas hotel. Telefon tersambung langsung dan tanpa basa-basi aku segera mengucapkan pesananku, serta beberapa pesanan yang mungkin disukai wanita disebelahku ini.
"Pagi." Suara wanita dengan serak yang khas membelai pendengaranku tepat ketika telefon kukembalikan ketempatnya. Aku menoleh kesebelah kiriku. Wanita itu menatapku tenang. Kuacungkan jempol atas keterbiasaannya ini. Seberapa kali dia bertahan memberikan ucapan dan senyuman itu dengan pria yang berbeda setiap paginya.
"Hei, pagi," jawabku dengan penuh kesopanan. Aku bangkit dan lebih memilih berdiri dari sana.
"Apa kau sudah memakaiku?"
Aku menaikan alis terpana dengan pertanyaannya. Sangat profesional sekali.
"Maaf nona, tapi saya belum melakukan apa-apa."
Wanita itu tertegun lalu mendesah pelan. "Apa aku melakukan sesuatu yang buruk?"
"Tidak. Hanya saja saya memang tidak menginginkannya."
Wanita itu mencebik. "Baru kau saja yang tidak tertarik padaku. Baiklah, lalu dimana bajuku?"
Pertanyaan yang ditanyakan sangat santai sekali. Aku sampai mengerjap mendengar pertanyaannya barusan. Jadi dia sudah sadar kalau dia tidak memakai bajunya kemarin malam? Dan dia tidak bertingkah seperti perempuan-perempuan di sinetron?
"Kau muntah dan bajumu ku laundry kemarin malam. Mungkin akan datang nanti."
Wanita itu mengangguk-angguk. Dia bergerak dari posisi tidurnya hendak duduk. Aku hanya memperhatikannya saja sampai wanita itu benar-benar duduk tanpa menahan selimutnya menutupi dada. Dengan santai memperlihatkan apa yang ada dibaliknya. Aku berbalik cepat.
"Sebaiknya saya keluar. Kau bisa memakai apa saja pakaianku. Silahkan ambil didalam walking closet."
Tanpa menunggu jawabannya lagi, aku segera mengangkat kaki dari kamar. Aku lebih baik menunggui sarapanku yang katanya akan sampai dalam waktu lima belas menit. Selagi menunggui sarapan itu di ruang makan, aku membuka koran dan membaca berita-berita penting didalamnya.
Ternyata janji yang diberikan pelayan hotel itu benar, tidak butuh lama, bel kamarku berbunyi. Aku segera melipat koran dan meletakannya diatas meja. Menuju pintu dan membukanya. Ternyata benar, pelayan datang membawakanku makanan.
Setelah membayar makanan-makanan tersebut, aku membawa makanan itu kembali ke meja makan. Dan ketika aku baru memasuki ruangan itu, ditempat yang aku duduki tadi, seorang wanita sudah mengambil alihnya. Dengan koran yang juga dibaca menutupi mukanya.
"Sarapan nona," tawarku. Wanita itu menurunkan korannya dan melipat koran itu. Dia menatap makanan yang berada didepannya dengan wajah yang masih tenang.
"Apa kau memesankan sesuatu untukku?" tanyanya.
"Ya, pilih saja sesukamu."
Wanita itu menggeleng. "Ambil bagianmu dan berikan bagianku."
Aku mengangkat bahu. Kuturuti saja permintaannya. Ku berikan dia sepiring nasi goreng seafood dan segelas jus jeruk. Lalu bagianku pancake dan hot cappucino. Dia menerimanya tanpa berkomentar apapun.
Kami makan dalam diam. Memang tidak ada hal yang perlu kami bicarakan. Kali ini dia hanyalah seorang wanita yang nyasar kekehidupanku kemarin malam karena klienku. Setelah bajunya kembali, dia akan segera aku antar pulang.
Dia makan dengan tenang. Tidak tergesa tapi juga tidak terlalu lambat. Pembawaannya yang tenang membuatku memperhatikannya. Dan aku baru menyadari dia memakai kemeja hitamku yang tampak kebesaran ditubuhnya. Aku juga menyadari kalau dia tidak memakai bawahan apapun kecuali celana dalamnya. Beruntunglah kemejaku yang kebesaran menutupi sebagian pahanya. Ternyata, jika seperti ini tubuhnya mungil dan pendek. Tidak seperti tadi malam yang memakai sepatu berhak tinggi. Dan satu lagi perbedaan darinya, makeupnya tidak bersisa. Aku baru menyadari kalau dia terlihat lebih baik tanpa makeup itu.
"Apa?" tanyanya yang kini balas memandangku.
Aku menggeleng gugup. Melempar pandanganku secepat mungkin ke pancakeku yang masih banyak.
Bunyi bel terdengar lagi. Aku menyesap sedikit hot cappucinoku dan bangkit. Melihat siapa yang datang lagi pagi-pagi begini.
"Selamat pagi tuan. Pakaian anda sudah selesai di laundry," ucapnya menyerahkan sebuah gaun dengan bungkus rapi. Didepannya tertera harganya dan aku merogoh saku untuk memberikan bayaran dan tips untuk pelayan itu. Dia mengucapkan terima kasih dan meninggalkanku.
Aku balik ke ruang makan sambil menenteng gaun milik wanita itu. Tapi hal mengejutkan lagi kutemui saat aku masuk keruangan itu. Wajah wanita itu memerah.
Dia bangkit cepat kearahku. "Apa ini bajuku?"
Aku mengangguk saja. Segera direbutnya baju itu dari tanganku dan berlari ke kamar. Aku hanya menggeleng aneh denga sikapnya.
Baru saja pancake di piringku habis, wanita itu keluar dari kamar dan segera berjalan keluar. Dia telah menggunakan pakaiannya semalam.
"Aku pulang!"
Dia mau pulang ternyata.
Ah, dia mau pulang. Papa selalu mengajarkan sopan santun diatas segalanya. Aku segera berdiri dan menyusulnya.
"Aku antar."
Tanpa berbalik dan fokus memakai sepatunya, wanita itu menjawab, "tidak perlu. Aku bisa sendiri." Dingin. Rasanya lebih seperti peringatan. Peringatan untukku agar tidak mengantarnya.
Akhirnya wanita itu pergi tanpa aku bisa bicara apa-apa lagi. Kuhempaskan tubuh ke sofa sebelahku. Lega.
***
Aku sedang membereskan barang untuk berangkat pulang. Dua jam lagi pesawatku akan terbang. Tapi satu panggilan telefon membuatku menghentikan kegiatanku.
Dari Pak Bowo ternyata.
"Iya pak?" tanyaku langsung.
"Bagaimana kabarmu?"
Aku mengernyit bingung. Bukankah kami baru bertemu tadi malam, kenapa dia menanyai kabarku sekarang?
"Saya baik-baik saja."
Suara tawanya terdengar keras. Aku semakin mengernyit sambil menjauhkan ponsel dari telingaku. "Kau polos sekali Pak Vicky. Saya bertanya tentang 'semalam'" ucapnya seperti mengutipkan kata-kata terakhir. Jadi, maksudnya disini adalah wanita itu dan aku?
"Kami tidak melakukan apa-apa Pak. Dia ketiduran."
"Oh begitu. Sayang sekali, dia itu mantap sekali Pak." Tawanya membahana lagi.
"Yah sayang saya tidak tertarik dengan hal-hal seperti itu."
"Wah wah, hanya anda yang berkata seperti itu. Deviana itu laku sekali di kalangan pejabat."
Lalu? Aku hanya bisa bertanya dalam hati.
"Ah baiklah pak. Oh ya, anda balik hari ini kan?"
"Iya."
"Maaf saya tidak bisa temenin antar bapak. Saya ada rapat dikantor."
Aku mengangguk memahami. "Tidak masalah pak. Tapi maaf, saya sedang bersiap untuk pulang," tusukku langsung.
"Oh begitu. Oke pak. Saya mohon maaf kalau menganggu. Semoga perjalanan lancar ya pak."
Aku mengucapkan terima kasih lalu mematikan sambungan telefon. Menghela nafas pelan lagi untuk kesekian kalinya di hari ini.
Jadi nama wanita itu Deviana..

You're My HabbitWhere stories live. Discover now