BAB 2 - Arseila

10.8K 193 10
                                    

Author's Note:

Halo! Masih sepi lapak ini, hehehe. Aku juga masih baru di sini.

Semoga kalian bisa menikmati cerita Haidar-Arseila seperti aku yang menikmati setiap saat menulis tentang mereka. :)


***

Aku beruntung memilih jam digital dibanding jam analog untuk kupasang di ruangan ini. Suara jarumnya yang terus bergerak akan sangat mengganggu jika aku memilih jam analog.

Suara jarum jam analog adalah salah satu hal yang membuatku tidak bisa tidur. Insomnia. Bunyi beraturan dari jam analog dan benda apa saja di sekitarku hanya makin membuat insomniaku makin parah. Kantuk yang biasanya sudah hampir membuatku terlena akan buyar jika mendengar bunyi ritmis semacam itu.

Mataku melirik ke sudut layar komputer, hampir jam sembilan malam. Saatnya untuk pulang dan terjebak di dalam kemacetan.

Setelah memastikan bahwa semuanya sudah rapi, aku pun keluar dari ruanganku. Gisel ternyata juga baru bersiap untuk pulang. Fresh graduate itu pasti sudah ditunggu pacarnya yang berkantor di Tower 2, beberapa meter dari kantor kami yang berada di Tower 1.

Ada Arkian dan Haidar yang sedang memainkan games simulasi perang dengan joystick di kubikel Theo. Sepertinya mereka sedang uji coba proyek iseng Theo yang hari ini kudengar baru selesai versi betanya.

Kemarin aku tak sengaja mendengar kalau sejak seminggu yang lalu, Theo menghabiskan waktunya untuk membuat games simulasi peperangan yang terinspirasi dari perjuangan kemerdekaan negara ini. Senjata yang disediakan Theo pada games ini pun meliputi senjata khas dari berbagai daerah, bambu runcing, dan sebagainya.

Ya, mereka selalu seperti itu ketika proses 'berdarah-darah' kami selesai dan sudah punya waktu untuk bersantai sejenak. Bersantai ala ketiga lelaki yang menjadi anggota timku ini ya membuat games, program sampingan yang awalnya berasal karena celetukan asal, atau proyek bebas mereka di luar job desc kantor.

"Hati-hati, Ars."

Sapaan Haidar tak kupedulikan. Satu lirikan singkat membuatku tahu kalau Arkian menyikut Haidar tanpa menoleh kepadanya. Entah kenapa laki-laki aneh itu selalu mengusikku sejak pertama kali tim ini terbentuk.

Gisel dan aku berada di dalam satu lift yang sama. Kami berbicara sejenak selagi lift berjalan sebagaimana mestinya. Gadis mungil yang lincah ini begitu semangat menjalani pekerjaannya. Walaupun kerap kali menemukan kesusahan, ia tak pantang menyerah. Aku yakin, kalau ia akan terus bersemangat seperti ini, ia bisa jadi seorang programmer perempuan hebat.

Sesuai dugaanku, pacar dari Gisel sudah menunggu di lobi. Gisel dan pacarnya pun pamit. Sedangkan aku berlalu menuju area parkir di samping gedung.

Kantorku yang berada tepat di depan ruas jalan Gatot Subroto langsung mempertemukan aku dengan padatnya jalan raya. Jam sembilan memang kadang masih padat merayap. Untuk keluar dari kawasan kantor saja susah, karena selalu ada motor yang menyalip di depan mobilku.

Tak lama, mobilku bergabung dalam barisan yang ikut merayap di jalanan ini. Sebenarnya, kalau menunggu setengah jam atau satu jam lagi, jalanan ini mulai lengang. Aku tak harus menghabiskan bensinku hanya untuk menyetir lima meter per setengah jam.

Tapi, terkadang terjebak dan tak tahu harus berbuat apa adalah salah satu hal yang kusuka. Terjebak di keramaian kadang membuatku damai. Merasa tidak sendirian walau nyatanya memang begitu. Bisa saja aku tetap di kantor, mengerjakan pekerjaan yang deadline-nya masih dua bulan lagi atau video call dengan Rain yang sekarang berada di Silicon Valley—tempat yang bertahun-tahun lalu kutinggalkan untuk sebuah mimpi yang kini telah hancur.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 30, 2015 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

So Over YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang