1

2.4K 39 1
                                    

Seperti aktivitas biasanya yang para istri lakukan. Bangun lebih pagi dari suami. Siapkan perlengkapan suami kerja. Memasak untuk sarapan pagi. Mandi, lalu bangunkan suami dan anak yang masih menikmati tidur.

Ku langkahkan kaki ke arah kamar kami. Ya, kamar aku, suamiku, dan anakku yang belum mau tidur sendiri. Alasan klasik sebenarnya, Abi kan masih kecil Bunda, nanti kalau di makan monster gimana?.

Dengan wajah yang hampir menangis, dengan matanya yang mirip dengan suamiku dikedip-kedipkan. Tentu saja aku sudah tidak bisa berkata apa-apa lagi. Selain menuruti, karena memang dia yang masih kecil. Baru bulan yang lalu genap empat tahun.

Ku lihat ayah dan anak masih meringkuk di kasur saling berpelukan. Mencari kehangatan dan kenyaman tidur. Karena memang udara pagi ini dingin sekali.

Saat sampai di samping tempat tidur, ku tarik selimut yang masih membrungkus badan mereka. Ku dudukkan pantatku di tepi kasur.

"Mas, bangun" ku goyang-goyangkan lengannya. Tapi hanya gumaman yang ku terima. Karena belum bangun juga, akhirnya harus ku gunakan cara biasanya.

Ku ciumi wajahnya sambil bergumam kata-kata untuk menyuruhnya bangun. Dan lihat, tidak perlu teriak dan keluar energi membangunkannya. Mas Rehan melepaskan pelukannya pada putra kami, melihat ke arahku lalu tersenyum.

"selamat pagi sayang" merentangkan tangannya yang mengundang untuk di peluk. Ku peluk suamiku, tempat ternyaman untuk ku adalah dalam pelukan suamiku. Kucium dahi dan bibirnya sekilas.

"Sudah, sekarang bangun. Sudah jam lima, nanti kesiangan subuhannya." melepaskan pelukannya lalu berdiri, bersiap untuk ambil wudlu dengan dia mengikutiku ke kamar mandi.

Setelah berwudlu, ku rentangkan sajadah untuk ku dan suamiku saat Mas Rehan sedang memakai sarung. Dia memakai peci lalu bersiap menjadi imam sholat ku. Saat aku bersiap di tempatku, dia menoleh ke arahku.

"Abi tidak di bangunkan, Dek"

"gak usah mas, semalemkan badannya panas. Tidurnya juga malem kasian kalau di bangunkan" Suamiku mengangguk lalu menghadap kiblat, bersiap sholat.

Setelah salam suamiku memutar badannya kearah ku. Seperti biasa ku cium tangannya dan dia mencium keningku. Lalu membisikkan doa di atas kepalaku. Setelah itu, baru dia memimpin doa.
Ku lipat perlengkapan sholat kami dan menyimpannya di lemari kecil.

Mas Rehan sedang mandi dan aku menuju dapur untuk menyiapkan makanan ke meja makan. Tugas membangunkan Abi itu Mas Rehan, karena jika denganku. Anak itu alasannya banyak sekali. Masih ngantuk sebentar lagi, lima menit lagi, bahkan Abi bilang lagi mimpi indah sayang kalau di tinggal.

Ku siapkan susu untuk putraku, teh hangat tanpa gula untukku, dan kopi tidak terlalu manis untuk suamiku.

Ku tengokan kepalaku saat mendengar langkah, suamiku yang sudah rapi dengan Abi di gendongannya. Ku tampilkan senyum terbaikku untuk mereka. Suamiku balas tersenyum hangat untukku, tapi tidak dengan putraku.

Wajahnya merah, matanya merah juga sayu. Ku dekati mereka. Abi memandangku lama. Di rentangkan tangannya ke arahku. Ku bawa dia dalam gendonganku. Menyurukkan kepalanya ke bahuku dan tangan memeluk leherku.

"Ndaaa"suaranya serak seperti ingin menangis.

"iya sayang, kenapa hem?" ku tepuk punggungnya dengan halus. Ku dengar suara isakan kecilnya. Ku pandangi suami ku yang melihat ke arah kami dengan dahi berkerut. Ku gelengkan kepala ku sebagai jawabannya. Mas Rehan berjalan kearah kami, dan berhenti di sampingku. Ikut menepuk punggung Abi.

"Nda, Abi nggak mau sekolah" suara seraknya di iringi dengan isakan kecil.

"Kenapa sayang"

"kepala Abi sakit, Ndaa" bukan isakan seperti tadi, tapi tangisan yang begitu kencang.

BundaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang