SKYE

85 6 0
                                    


Ingatanku kembali ke situasi saat itu, misi pertamanya. Misi pertama kami berdua.

"Ayo, Skye! Cepat!", kutarik tangannya seiring dengan melesatnya pesawat kami, tepat sebelum terjadinya ledakkan dahsyat itu. Tangannya sedingin es. Matanya terbelalak, namun tatapannya kosong. Tubuhnya gemetar. Nafasnya tidak karuan. Aku dapat merasakan ketakutannya. Ku guncangkan tubuhnya agar dia tersadar.

"Hey, Skye? Kamu nggak 'papa?", memastikan keadaannya. Dia hanya terdiam sebentar, kemudian mengerjap-erjapkan matanya.

"Eh, makasih, Ward. Nggak, kok. Nggak 'papa,". Aku ber-ooh kecil, kemudian berlalu.

Skye, merupakan agen baru dalam tim kami. Dia seorang yatim piatu. Seorang gadis berumur 20-an yang berparas cantik. Dia seorang mantan peretas, dan juga mantan anggota Rising Tide, sebuah organisasi bagi peretas-peretas di seluruh dunia yang, umm..., katakanlah, tidak bersahabat dengan organisasi kami, SHIELD.

Aku berjalan ke bunker-ku, yang kebetulan bersebelahan dengan bunker Skye. Ku sempatkan diri menengok Skye, yang merupakan tugasku sebagai Supervising Officer-nya. Dia sedang asyik mengutak-atik komputernya. Jadi, aku kembali ke bunker ku.

Terus terang saja, tadi aku sangat khawatir. Khawatir akan Skye jika ia tidak tepat waktu. Jika dia --eh, tunggu sebentar. Sejak kapan seorang Grant Ward, yang terkenal sebagai seorang agen lapangan berdarah dingin, bisa khawatir? Nggak, tidak pernah boleh. Seorang Grant Ward adalah seorang yang berdarah dingin, tak berperasaan, dan anti akan hal-hal norak seperti cinta. Tugasnya menjalani misi, dan hanya itu. Tidak kurang dan tidak lebih. Patuhi perintah, dan aku akan selamat.

Sebuah ketukan di pintu bunker-ku membuyarkan segala lamunan tadi.

"Ward, mau ikut main monopoli sama Fitz Simmons, gak?"

"Ngapain?"

"Main monopoli sama Fitz Simmons."

Jujur, aku tidak pernah sekalipun main monopoli. Pertama, karena tidak ada yang pernah mengajak. Kedua, karena tidak ada yang pernah mengajariku.

"Jangan bilang kamu gak bisa main monopoli," kata Skye, seolah-olah dia bisa membaca pikiranku. "Ayolah, seorang agen di SHIELD gak bisa main monopoli. Payah banget."

Aku mengangkat bahu, pasrah, sembari mengekor Skye.

Aku berjalan ke kedai kopi langganan kami. Tempat duduk yang dulu biasa kami tempati kebetulan kosong. Aku duduk, kemudian memesan minuman favoritnya; teh tarik dengan sedikit perasan lemon, seiring dengan terlemparnya kembali ingatanku saat pertama kali aku menraktir dia, di kafe yang sama, dengan tempat duduk yang sama.

"Jadi, beneran, nih, aku ditraktir oleh si anti norak?" katanya sambil tertawa meledek.

"Ya, kalau nggak mau, sih, gak 'papa. Cepat, sana, pesan."

"Asyik. Waiter! Saya minta teh tarik, dan tolong tambahkan sedikit perasan lemon. Kemudian, cheese burger deluxe satu, dengan tambahan cheese, tanpa sayur dan acar,"

"Saya air putih saja. Tidak dingin, please. Terima kasih. Skye? Apa-apaan itu tadi?"

Aku memasang ekspresi bingung. Kemudian ia tertawa. Dan aku suka sekali melihatnya tertawa. Tawanya memusatkan semua konsentrasiku. Sungguh, dia sangat kekanak-kanakkan. Kekanak-kanakkannya sangat memikat. Dia bukan gadis berumur 20 tahun yang berusaha terlihat imut di hadapan orang lain. Dia memang begitu. Dia bisa tertawa selepas-lepasnya dan tetap terlihat memikat.

SKYEKde žijí příběhy. Začni objevovat