EMPAT

2.7K 337 61
                                    

Chania terjatuh menimpaku. Kesakitan merambat terlalu cepat, mengalir dari punggung sampai ke ujung rambut.

Sebentar kami mengerang bersahutan, menahan sakit yang sulit tertahankan. Kami kemudian berlari cepat-cepat, tergopoh saling menggandeng, berusaha kabur dari belasan, tidak, puluhan zombi yang mulai memakai otak busuknya dan ikut melompat. Hatiku terasa getir. Aku menggigil takut.

Suara debuman menerobos masuk ke dalam liang telingaku. Sauk tangis dan rintih nestapa terdengar menyakitkan sekaligus menguras kewarasan. Aku ingin berteriak keras, tetapi tak mampu. Aku hanya bisa memaksa diri menyeret kaki, menjauh dari mereka, berdaya mencari aman.

Langkah kaki diseret terdengar membahana di belakang, dibarengi suara debum sahut-menyahut. Aku tak sanggup berbalik. Takut jika ternyata mereka sudah sesenti di balik punggungku. Tengkukku meremang membayangkan gigi mereka siap menerkam, menambah dingin di tubuhku yang basah diguyur hujan.

Di bawah langit malam nan kelabu ini, aku mulai merasa tak berdaya. Tenagaku nyaris habis.

Aku harus membawa kami keluar dari sini sebelum mereka memakan otak kami. Jika aku tidak berlari lebih cepat, aku pasti mati. Aku tak mau mati.

"Chan, cepat!" Aku teriak meski Chania ada di sampingku.

"Susah! Aku sakit ini!" jeritnya sambil menangis. Dia sesekali tersandung kakinya sendiri, hendak jatuh. Untung saja aku hentikan.

Aku memikirkan tujuan kami sekarang, dengan pikiran yang kalang-kabut.

Keluar bangunan, kami berlari lurus, melewati jalan kecil yang di apit pepohonan kecil, menuju taman yang ada di depan GKU, Gedung Kuliah Umum.

Jalanan diterangi lampu-lampu taman yang menyala. Cukup untuk membuat kami lebih mudah berlari, terlebih setelah ponsel Chania terjatuh di koridor tadi. Hanya satu yang membuat heran. Entah apa sebabnya lampu di gedung GKU masih saja mati.

Hujan masih setia mengguyur bumi. Tak sangka akan menyulitkan kami berlari menuju tempat pertama yang harus dilewati. Taman.

Jalanan ini licin di saat basah. Tak jarang kami hampir tergelincir, membuat kami semakin dekat dengan bahaya.

GKU adalah gedung terjauh dari gerbang. Kami harus melewati banyak tempat yang rawan dan terbuka.

Chania tak jarang ber-ah, merintih-rintih di setiap langkah yang dia jejak. Aku sendiri tak tahan dengan rasa sakit yang menderaku.

Aku tak yakin, tetapi peluh serasa memenuhi seluruh tubuhku. Jangan kira tidak tegang, mayat-mayat busuk masih terus mengejar kami sementara kakiku sudah sulit diajak kompromi!

Hatiku mengelu, lidahku serasa melompat. "Ah!" Aku berteriak amat keras begitu sadar keseimbanganku mulai menipis. Aku berjalan terus sampai satu-dua langkah kemudian, aku tersungkur tak tertahankan.

Pepohonan di kiri dan kananku menjadi saksi lenguhku yang kencang. Gigiku goyang menghantam paving block.

"Drew!" teriak Chania. Dia hendak mendekat. Namun, terpaku matanya, menatap ke belakangku. "Drew ...."

Aku menoleh ke belakang. Mataku membelalak, rasa horor tadi kembali menyerang. Aku serasa dicambuk ketakutan, jantungku melompat-lompat.

Mereka kini berada di belakangku, menatapku dengan seringai lapar yang mengerikan.

Detik berikutnya aku kembali berusaha berdiri. Lebih panik, lebih ketakutan dari yang tadi.

Mereka cepat menerkam. Tangan mereka yang dingin bagai mayat mendera, mencengkeram di mana-mana.

"Chania!! Lari!" sahutku panik sambil berusaha melepas diri dari cengkeraman mereka. Air mataku mulai mengalir setelah aku bangkit dan dijatuhkan berulang kali.

Home Run [7/7 End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang