Aku tidak tahu kesalahan apa yang sudah kulakukan. Tahu-tahu saja mereka mulai mencurigaiku. Lebih parah lagi, mereka bahkan menghancurkan semua usaha kerasku dengan meyakinkan Hanny untuk melawanku. Pengkhianatan Hanny membuatku nyaris gila karena marah dan sakit hati, namun aku masih punya secuil kesadaran untuk mengubah rencana dan berimprovisasi dengan keadaan. Aku menculiknya, berharap bisa menjadikannya sandera dan memaksa Jenny Jenazah menyerahkan diri.
Apa yang akan kulakukan pada mereka setelah itu adalah urusanku sendiri.
Dulu anak perempuan itu pasti akan meraung-raung, memohonku supaya melepaskan Hanny yang pernah dipuja setengah mati olehnya. Tapi makin lama dia makin pendiam. Mungkin karena terlalu sering kupukuli, mungkin juga hanya karena dia sudah lebih dewasa. Kini dia lebih penurut dan mengerti tindakanku, dan meski tidak bertambah ramah terhadapnya, aku tidak terlalu menganggapnya mengganggu lagi.
Semuanya gagal. Semua rencanaku gagal karena Jenny Jenazah dan kedua pacarnya yang brengsek. Aku berusaha bunuh diri, namun usahaku itu pun gagal dan menyebabkanku dikurung di rumah sakit jiwa. Aku berpura-pura amnesia, hal yang tidak sulit bagiku, namun di dalam hatiku, aku tidak berhenti menyusun rencana pembalasan yang sempurna.
Satu-satunya harapanku adalah mereka punya cukup banyak nyawa untuk merasakan semua penderitaan itu.
Aku mulai belajar keras. Buku-buku yang tersedia di rumah sakit jiwa sangat membosankan—tapi disukai si anak perempuan sialan yang rupanya sangat menikmati saat-saat di bangsal yang suram itu—jadi aku mulai merayu para perawat untuk membiarkanku menggunakan komputer. Dari situlah aku mulai mempelajari ilmu-ilmu yang bisa kugunakan untuk menyukseskan rencanaku.
Berhubung aku bisa mengakses internet, aku juga mulai menjalin beberapa korespondensi yang menyenangkan. Yang satu menuntun pada yang lain, hingga pada akhirnya aku menemukan orang-orang yang bisa kugunakan untuk membantuku melaksanakan rencanaku. Tentu saja, mereka tidak tahu apa-apa mengenai isi hatiku. Aku hanya menyatakan simpati, mendapatkan kepercayaan, menebar bibit keraguan, mengipasi kemarahan. Lalu kuberi mereka skenario "seandainya". Pada akhirnya, mereka akan mengira semua ide itu datang dari mereka sendiri—dan sama sekali tidak ada hubungannya denganku.
Sementara itu, aku sendiri berprilaku cukup baik di rumah sakit jiwa, menunjukkan kesembuhan demi kesembuhan yang menakjubkan, memesona dokter dan para perawat. Kusuruh anak perempuan itu mengumpet supaya tidak mengacaukan keadaan, dan hanya boleh muncul kalau kusuruh. Aku tidak peduli meski anak itu tampak sedih dan terluka. Di dunia ini, yang bisa kupikirkan hanyalah diriku seorang. Soalnya, kalau bukan aku sendiri, siapa lagi yang mau memperjuangkan kepentinganku?
Saat salah satu percobaanku lagi-lagi meledak dan mengakibatkan rumah sakit kekurangan tempat, aku—dan beberapa orang lain yang dianggap sudah mulai sembuh—yang dipilih untuk dipindahkan ke pusat perawatan mental yang lebih nyaman. Setelah mengetahui tanggal keberangkatan, dengan menggunakan korespondensi dengan orang-orang yang tepat, aku berhasil mengatur kecelakaan bis yang memindahkanku ke pusat perawatan mental itu. Akibat kecelakaan itu, semua orang tewas, beberapa menghilang.
Aku dan anak perempuan itu termasuk salah satu golongan terakhir ini. Juga salah satu teman satu blok di rumah sakit yang kurasa bisa kugunakan untuk melaksanakan rencanaku.
Kini aku bebas! Aku bisa melakukan apa saja! Aku pun kembali ke rumah untuk mendapatkan dukungan modal yang kubutuhkan. Namun, berbeda dengan beberapa orang lainnya, ayahku tidak bersedia kerja sama. Aku memutuskan untuk menyingkirkannya, tapi mendapat pertentangan dari anak perempuan itu. Tentu saja, anak itu sama sekali tidak bisa berbuat apa-apa untuk mencegahku. Dia hanya menangis sesenggukan sambil mengikutiku.
Seandainya saja aku bisa menyingkirkannya juga.
Dengan belagak sebagai anak yatim-piatu yang sangat berduka, mudah sekali melaporkan kematiannya dan membuat seluruh harta warisan jatuh ke dalam tanganku. Berkat akting yang memukau, tak ada yang mempertanyakan kenapa aku bisa keluar dari rumah sakit jiwa. Setelah semua uang ditransfer ke dalam rekeningku, aku pun menggerakkan setiap pion yang sudah kupersiapkan.
Seorang siswi di sekolah kami yang cukup manis tapi tidak cukup baik bagi semua cowok bernama Mila, yang menyimpan dendam pada banyak cowok, mengatakan bahwa dia sudah memengaruhi pikiran Benji, pacar Hanny sekarang (sebenarnya aku muak pada Benji yang sama sekali tak pantas untuk Hanny, tapi untuk sementara dia bisa jadi pion yang berguna, dan kebodohannya membuatku bisa menyingkirkannya sewaktu-waktu kalau dia tak dibutuhkan lagi). Mereka akan kugunakan untuk menyita perhatian Hanny. Sementara teman lama Tony di Pontianak, Ailina, yang sedang dirundung berbagai kemalangan akibat orangtuanya yang kabur meninggalkan utang dan kakaknya yang terkena kanker, bisa kugunakan untuk menahan Tony si cowok sok pahlawan dan Markus si pengekor di Pontianak.
Sementara itu, ada yang harus kuurus secara pribadi.
Di Singapura.
ESTÁS LEYENDO
Johan Series
Misterio / SuspensoBerisi sinopsis dari empat novel Teenlit pertama karya Lexie Xu yang sudah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, juga disertakan prolog novel Teror. Selain itu, ada juga prolog Bayangan Kematian, yaitu novel kolaborasi Lexie Xu dengan Erlin Cahya...
Prolog Teror
Comenzar desde el principio
