Tadinya aku sudah sempat mengira bahwa pasti akan sulit sekali menemukan jejak Jenny Jenazah di antara ratusan anak baru. (Setelah masuk sekolah, kuketahui bahwa ada dua Jenny lainnya, sehingga semua orang mulai membuat nama-nama panggilan kejam untuk membedakan mereka. Diam-diam aku memberi Jenny Angkasa nama panggilan Jenny Jenazah, panggilan yang sangat cocok untuk cewek yang seharusnya berakhir di liang kubur dalam waktu dekat itu.) Tapi ternyata dia sangat gampang ditemukan. Bukan karena dia cantik atau mencolok atau hal-hal hebat lainnya (aku tetap beranggapan dia cewek paling tak istimewa di muka bumi ini), tapi karena di sampingnya ada seorang cewek lain, cewek tercantik yang pernah kulihat, cewek yang begitu menyilaukan sampai-sampai aku tidak berani menatapnya.
"Cantik sekali ya," kudengar suara adikku yang entah bersembunyi di mana. "Kakak juga suka padanya?"
Aku melengos. "Bukan urusanmu."
"Namanya Hanny Pelangi. Dia populer sekali. Setiap cowok di sekolah ini membicarakannya." Dia mendesah dan melanjutkan, "Aku ingin tumbuh cantik seperti dia."
"Kau takkan pernah cantik," kataku kejam.
Untuk beberapa lama, aku tidak diusik oleh anak perempuan cengeng itu dan bebas untuk memikirkan cewek yang sangat menarik hatiku itu. Hanny Pelangi, nama yang cantik, seperti pemiliknya.
Sebuah pikiran yang kuat mendadak tumbuh di hatiku. Pikiran yang gelap, namun menguasai hatiku dalam seketika. Bahwa cewek itu harus menjadi milikku. Cowok yang berkualitas layak bersanding dengan cewek yang berkualitas juga. Kami pasti akan menjadi pasangan yang sangat serasi.
Menghadapi cewek sehebat ini, aku tidak boleh terburu-buru. Perlahan-lahan aku membangun posisi sebagai sahabat cowok yang penuh pengertian dan selalu siap sedia setiap kali dia butuh tempat curhat. Pendekatanku berjalan dengan baik, namun ada dua kendala.
Pertama, anak perempuan itu terus mengikutiku, diam-diam, jauh di belakang, namun sangat mengganggu dan membuatku sulit berkonsentrasi. Aku mencoba memenjarakan anak ingusan keparat itu, namun entah bagaimana caranya, dia selalu bisa meloloskan diri. Akhirnya aku menyerah, namun itu tak berarti aku mendiamkannya. Begitu pulang ke rumah, aku akan melayangkan tamparan ke mukanya, dan kepuasan akan merebak di hatiku saat melihat pipinya yang berbekas tanganku atau bibirnya yang berdarah.
Kedua, aku tetap saja tidak bisa menyingkirkan Jenny Jenazah dari sisi Hanny. Cewek brengsek itu seperti permen karet yang nempel di sol sepatu, sampah kotor yang menyebalkan. Aku sering memikirkan bagaimana cara untuk membunuhnya. Cara yang tidak mencolok, yang tidak akan membuatku dicurigai. Beberapa skenario terasa oke, tapi aku masih perlu memikirkannya matang-matang dulu.
Namun jalan keluarku ternyata sangat mudah. Hanya dibutuhkan kesabaran untuk menanti. Saat mendengar Hanny pacaran dengan Tony, cowok dekil yang mengerikan dari kelas dua—berbeda dengan biasanya, kali ini Hanny terdengar serius—aku buru-buru mencari tahu. Ternyata ada rahasia di balik hubungan itu. Rahasia yang menyangkut Jenny Jenazah. Kugunakan rahasia itu untuk merusak persahabatan mereka. Yah, aku terpaksa harus memoles ceritanya sedikit—atau mungkin agak banyak, sama sajalah. Yang penting aku berhasil membebaskan Hanny dari cengkeraman cewek jelek yang hanya ingin nebeng populer itu.
Aku tidak berhenti sampai di situ. Kini bukan hanya aku yang benci setengah mati pada Jenny Jenazah. Demi Hanny, aku mulai meneror Jenny Jenazah. Aku berhasil menyebabkan kecelakaan-kecelakaan mengerikan yang menimpa Jenny-Jenny lain, dan seperti dugaanku, Jenny Jenazah langsung menunggu gilirannya dengan muka pucat dan tubuh gemetar. Diam-diam aku menertawakan kepengecutannya. Namun, tak kuduga, dia malah melibatkan si pecundang Tony dan teman sepermainannya yang busuk, Markus, dalam urusan ini.
Tapi otakku kan lebih cerdik daripada otak mereka semua digabungkan jadi satu. Aku mengirim anak perempuan itu untuk mengintai mereka, sementara aku menikmati hubunganku yang semakin dekat dengan Hanny. Pernah sekali kutemukan anak itu mencuri dengar percakapanku dengan Hanny di saat dia seharusnya pergi ke rumah Jenny, membuatku gusar dan menamparnya. Bisa-bisanya dia melalaikan tugasnya dan melakukan hal serendah itu! Yah, kalau ingin hasil yang sempurna, kita memang harus melakukannya sendiri. Memercayakan urusan penting pada orang lain benar-benar berisiko tinggi.
YOU ARE READING
Johan Series
Mystery / ThrillerBerisi sinopsis dari empat novel Teenlit pertama karya Lexie Xu yang sudah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, juga disertakan prolog novel Teror. Selain itu, ada juga prolog Bayangan Kematian, yaitu novel kolaborasi Lexie Xu dengan Erlin Cahya...
Prolog Teror
Start from the beginning
