Saat lulus SMP, aku memutuskan sudah waktunya aku mulai unjuk gigi. Aku terlalu pandai, terlalu tampan, terlalu hebat, untuk dikucilkan di rumah luar kota yang tidak ada apa-apanya. Ayahku tidak pernah ada, jadi sebenarnya aku bisa melakukan apa saja yang kuinginkan.
Hal pertama yang ingin kulakukan adalah kembali ke rumah mewah yang pernah kutinggali dulu. Aku tidak pernah hafal alamat rumah itu, tapi tidak sulit untuk mencari tahu. Aku mengambil rapor SD-ku dari kamar ayahku, di situ tertera alamat lama. Aku juga cukup terkesan saat menyadari bahwa dulu aku bersekolah di Sekolah Persada Internasional, salah satu sekolah terbaik di negeri ini.
Hal kedua yang harus kulakukan adalah pindah kembali ke sana.
Tapi satu per satu dulu.
Aku menemukan rumah itu. Rumah di mana aku pernah bahagia, dan rumah di mana seharusnya aku berada. Rumah itu sudah ditempati keluarga lain, tapi aku tidak mengalami kesulitan untuk memasukinya. Aku masih ingat ada jalan rahasia yang dulu kugunakan untuk berkeliaran di sekitar rumah, mencuri dengar pembicaraan orangtuaku, dan terkadang kabur dari rumah kalau aku sedang bosan. Kini kugunakan jalan-jalan rahasia itu untuk menyelinap masuk ke dalam rumah dan mengintai penghuni baru rumah tersebut.
Aku mengizinkan adik perempuanku yang seharusnya sudah mati ikut serta. Bagaimanapun juga, ini adalah bekas rumahnya juga. Dia mengikutiku ke mana-mana, berseru-seru dengan penuh kerinduan, mengingatkanku pada masa-masa yang terasa bagaikan di abad lalu. Dia terpaku saat kami tiba di taman belakang yang dulunya adalah kolam renang di mana dia pernah tenggelam.
"Aku benci kolam renang," katanya tiba-tiba.
Sebenarnya aku ingin mengejeknya, namun mendadak kusadari sebuah keanehan.
Aku juga benci dengan kolam renang.
Keluarga yang menempati bekas rumah kami itu bukan keluarga yang sepadan dengan keluarga kami. Sepertinya mereka berasal dari golongan menengah ke bawah. Lebih parah lagi, mereka punya seorang anak perempuan yang seusia denganku. Namanya Jenny Angkasa—nama yang konyol banget, mengingatkanku pada kata jenazah—dan dia bersekolah di Sekolah Persada Internasional.
Pertama kali menatap anak perempuan yang sama sekali tidak istimewa itu, mendadak saja dendamku tertumpah padanya. Dia menempati rumah yang seharusnya kutempati, dia bersekolah di sekolah yang seharusnya adalah tempatku bersekolah. Padahal dia hanyalah anak perempuan yang biasa-biasa saja, mukanya jelek dan dia tak punya bakat yang berarti. Sementara aku yang begini istimewa malah diasingkan jauh-jauh.
Hidup sungguh tidak adil.
Saat aku mengintipnya dari balik tingkap di langit-langit dengan penuh amarah, gadis kecil di sebelahku bertanya dengan suara polos, "Apa Kakak akan melakukan sesuatu padanya?"
"Ya," sahutku kejam. "Akan kusingkirkan dia."
Dan pada saat aku mengatakan menyingkirkannya, aku tidak bermaksud hanya mengusirnya.
Berkat akting cemerlang anak-malang-yang-sering-ditinggal-orangtua, tidak sulit bagiku untuk mengurus kepindahan sekolah. Awalnya aku kepingin pindah rumah juga, namun seluruh tabunganku terkuras untuk biaya masuk sekolah yang mahal sekali itu. Tak apa, hal itu bisa menunggu. Aku bisa bersabar. Aku orang yang sangat sabar.
Aku ingat sekali hari pertama pekan MOS sekaligus hari pertama bersekolah. Seperti biasa, aku melarang adik perempuanku yang konyol untuk ikut serta ke sekolah, tapi dia tetap saja mengintaiku di ujung lorong, di balik tanaman hias, di antara kerumunan anak-anak. Inilah salah satu alasan aku benci adik perempuan. Mereka semua tidak penurut. Aku berjanji dalam hati untuk memukulinya setiba di rumah nanti, tapi aku juga tahu bahwa itu tak bakalan menghentikannya mengikutiku.
YOU ARE READING
Johan Series
Mystery / ThrillerBerisi sinopsis dari empat novel Teenlit pertama karya Lexie Xu yang sudah diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama, juga disertakan prolog novel Teror. Selain itu, ada juga prolog Bayangan Kematian, yaitu novel kolaborasi Lexie Xu dengan Erlin Cahya...
Prolog Teror
Start from the beginning
