Leander semakin mendekatkan wajahnya pada cermin, dan memperhatikan gigi taringnya baik-baik. Jika berlubang, bukankah biasanya yang sering terkena adalah gigi graham?

"Rasanya gigi taringku tidak sepanjang ini," gumam Leander.

"Astaga!"

Leander tersentak, dan menjauhkan wajahnya dari cermin. "Apa?!" balasnya kesal.

"Kami kelaparan di bawah sana sedangkan kau malah sibuk memperhatikan wajahmu di cermin," omel Lucy. "Gadis-gadis New Zealand masih waras, jadi mereka tidak akan tertarik padamu. Yeah, kecuali kau melompat ke depan mobil yang sedang melaju. Kau akan jadi pusat perhatian. Percayalah."

Leander menyeringai. "Bicaramu barusan persis seperti orang yang tidak menggunakan otaknya sama sekali."

Tanpa memedulikan wajah Lucy yang sudah memerah karena emosi, Leander berlalu di sampingnya dengan santai.

OOoOoOoOo

Leander berguling-guling tak karuan di atas ranjangnya. Dia, beserta keluarganya mendarat di New York satu jam yang lalu. Perjalanan yang memakan waktu satu hari hari lebih itu seharusnya menguras tenaga, namun anehnya sudah satu jam dia berbaring di ranjangnya yang nyaman, matanya tak kunjung terpejam. Dia bahkan tidak merasakan lelah sedikit pun.

Keesokan paginya, Leander menuruni tangga menuju ruang makan dengan menyeret kakinya. Memegang pegangan tangga erat, seolah jika dia tidak melakukannya dia akan jatuh terguling. Dia tidak tidur semalaman. Tidak bisa tidur lebih tepatnya. Dia baru memejamkan mata selama lima belas menit sebelum akhirnya dia mendengar teriakan spektakuler ibunya di depan pintu kamarnya, mengatakan bahwa sarapan sudah siap.

"Lean, wajahmu benar-benar merusak selera makanku," komentar Lucy begitu dia baru saja memasuki ruang makan.

Leander mendelik, namun tidak membalas. Yang harus dia lakukan saat ini hanyalah sarapan, lalu tidur seharian di kamarnya. Aneh sekali kantuk baru menyerangnya ketika matahari mulai terbit. Dia tidak pernah insomnia sebelumnya.

"Lucy, jaga ucapanmu," ujar Justin pelan.

"Ups," balasnya dengan raut wajah tak bersalah dan menampilkan seringai andalannya pada Justin.

"Kau itu benar-benar." Leandra berdecak tak suka.

"Sudahlah, Leane. Makan sarapanmu." Nicole angkat bicara.

"Hm, Mom. Dad. Siang nanti aku ingin keluar." Alena berdehem. "Temanku berulang tahun, jadi kami akan memberikannya kejutan."

"Teman?"

Itu pertanyaan ayahnya. Justin sangat mendetail. Ayah mereka itu tidak bisa menerima alasan yang hanya setengah-setengah. Yeah, meskipun sedikit tidak menyenangkan karena Justin harus selalu tahu apa yang akan dan sedang mereka lakukan, kapan mereka pulang, bersama siapa mereka akan pergi. Well, semua itu hanya diberlakukan pada empat wanitanya. Nicole yang utama. Lalu disusul Leandra, Alena dan yang terakhir, Lucy.

Alena mengangguk. "Kau ingat Caron? Dia pernah ke sini sebelumnya."

"Well, tentu saja boleh," sahut Nicole cepat, bahkan saat Justin belum membuka mulutnya untuk menbalas ucapan Alena, membuat laki-laki itu mendelik pada istrinya.

"Aku akan pulang sebelum makan malam," lapornya lagi.

"Nikmati harimu, sayang," ujar Nicole. "Lean, kau tidak suka sarapanmu?" tanya Nicole saat Leander hanya menusuk-nusuk omelette di piringnya.

Leander mendongak, dan berusaha tersenyum pada Nicole. Dia tidak ingin ibunya kecewa. Lagi. Beberapa hari sebelum keberangkatan mereka ke New Zealand dia membentak-bentak Nicole dengan kurang ajarnya dan mendapatkan sebuah tamparan dari Justin akibat ulahnya itu. "Aku mengantuk, itu saja." Leander bangkit dari duduknya, meskipun saat itu kepalanya semakin pusing dan pandangannya mulai berkunang-kunang. "Aku akan sarapan nanti."

LEANDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang